Bab 16. Melawan Dunia

775 104 32
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Layaknya kasur pada karyawan Jakarta pada Senin pagi, kursi yang hari ini Azizi dan Christy duduki langsung merengkuh punggung dalam sekejap mata, seiring dengan kereta mereka yang bergerak maju, semakin jauh meninggalkan Jakarta dan semua kenangan yang banyak rupanya.

Beberapa menit yang lalu, kereta yang mereka naiki menunaikan pemberhentiannya sejenak di sebuah stasiun yang cukup besar di kota yang kecil nan terpencil. Jika waktu pertama kali meninggalkan Jakarta dan bertandang ke Jogjakarta, baik Azizi ataupun Christy sama-sama sepakat untuk mereduksi nama stasiun itu-dan stasiun-stasiun lain yang mereka lewati-menjadi kalimat "masih jauh" atau "belum sampai", dua tahun ini kesepakatan-yang lebih mirip kebiasaan-itu sama-sama tak lagi mereka lakukan.

Christy dan Azizi mulai tidak mereduksi lagi nama-nama stasiun yang mereka lewati, memilih untuk mengingat-ingat nama stasiun tersebut untuk menerka-nerka sampai kapan keduanya diperbolehkan untuk tidur dan mengistirahatkan kepala di bangku penumpang yang keras dan kadangkala terlampau tegak.

Seperti dini hari ini, misalnya, ketika kereta mereka mulai kembali berjalan di atas bantalan rel setelah meninggalkan Stasiun Kutoarjo yang menjadi pemberhentian terakhir sebelum benar-benar turun di Tugu, Christy tidak lagi merebahkan kepala di bahu Azizi. Perempuan itu membuka mata, membiarkan kesadaran memeluk dirinya secara penuh dan menyeluruh setelah hampir seluruh perjalanan dia habiskan dengan memejamkan mata.

Christy bukan tipikal manusia yang mabuk kendaraan, baik darat, udara, ataupun laut. Namun, sejak bertolak ke Jakarta tiga hari lalu dan kembali lagi ke Jogjakarta hari ini, dia rasa ia jadi lebih mudah merasakan mual hanya karena membuka mata. Entah karena kehamilannya yang masih tergolong muda atau karena riwayat pre-eklamsia yang mungkin dia derita-menurut sumber yang Christy baca, katanya, ibu dengan potensi pre-eklamsia cenderung lebih mudah merasa mual dan muntah.

"Sebenarnya, kalau kamu masih ngerasa mual tiap buka mata, tidur aja enggak apa-apa, kok, Ay. Nanti aku banguninnya pas udah sampai di Tugu."

Sambil memijit pelipis mata istrinya, Azizi mengajak Christy bicara. Namun, dia tidak berharap Christy menanggapi perkataannya karena tahu separah apa mual yang Christy rasakan,

"Enggak apa-apa. Aku juga udah capek tidur terus." Christy tanpa membuka mata, meringsekkan kepala ke lengan bagian atas Azizi Bagaskara yang lumayan keras juga. Mencari tempat ternyaman untuk dia merebahkan kepala sambil menghirup dalam-dalam aroma tubuh suaminya-satu-satunya hal yang mampu meredakan semua mual yang Christy rasakan. "Kira-kira, kalau dari Kutoarjo sampai Tugu, butuh waktu berapa lama lagi, Zi?"

"Satu jam kali, ya? Kayanya, sih, segitu. Biasanya kita kalau berhenti di sana terus nyambung pakai Prameks buat ke Tugu, sekitar segituan 'kan?"

Christy mengangguk. "Aku pikir karena pakai kereta jarak jauh, waktu sampainya jadi bisa lebih cepat."

Imperfect MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang