Bab 15. Menerka yang Akan Datang

545 127 19
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

"Kak Dira, masa Kak Zizi bilang ke Aira kalau di perut Kak Dira sekarang ada dedek bayinya. Emangnya iya, Kak?"

Selepas sarapan dan membantu Ibu-Bu Yona-mengemasi piranti serta sisa makanan mereka, Christy dikelilingi oleh bocah-bocah kecil yang tingginya tidak lebih dari sebatas pinggang orang dewasa.

Dia duduk di atas kursi kayu ukir berukuran cukup besar, sementara di sisi kanan dan kirinya ada anak-anak kecil yang sibuk berceloteh ria-entah kepada Christy atau diri sendiri. Tidak terkecuali si kecil Aira, anak berusia enam tahun yang sejak pertama kali kedatangannya di panti ini sewaktu berusia enam bulan kala itu, sudah begitu dekat dan lengket sekali dengan Christy.

"Oiya? Pas kapan Kak Zizi cerita?" Christy tertawa kecil sewaktu melihat Aira beranjak pelan dan berbalik ke arahnya, sedikit membuka diri dan membiarkan bocah kecil itu berdiri di sela-sela kaki. "Kok, Kak Dira enggak denger?"

Sambil mencondongkan badan dan menghamburkan diri ke pelukan Christy yang hangat, Aira menjawab pertanyaan kakaknya dengan bibir mungilnya yang mengerucut lucu. "Tadi pagi waktu Aira minta tolong diikatkan rambutnya sama Kak Zizi. Kak Zizi bilang, hari ini tidak boleh main banyak-banyak sama Kak Dira karena ada dedek bayi di perutnya Kak Dira. Nanti dedeknya capek."

Aira merebahkan kepala di perut Christy. Dia tampak semakin memberengut dan melingkari pinggang Christy menggunakan tangannya yang mungil dan kecil. Ada kesedihan-dan sedikit rasa kesal-yang terbaca jelas oleh Christy Sasadira di sana.

"Kok, sedih, sih? Kenapa, hm? Aira enggak suka mau punya teman baru?" Pelan-pelan, Christy mengangkat kepala Aira dari perutnya. Tangannya yang lembut membelai pipi bulat dan padat milik anak tersebut sambil tersenyum hangat. Alisnya yang tidak seberapa tebal terangkat tinggi-tinggi, mempertegas pertanyaannya pada Aira. "Nanti 'kan Aira juga punya adik jadinya."

Aira menatap Christy dengan kepala yang menenggak, tangannya masih melingkar di pinggang perempuan itu erat-erat. "Suka, tapi enggak suka kalau Kak Zizi jadi larang-larang Ai main sama Kak Dira. Ai 'kan kangen sama Kak Dira."

"Di perut Kak Dira beneran ada bayinya?"

Itu bukan suara Aira, tetapi Arga. Anak laki-laki berusia sepuluh tahun yang nasibnya tidak jauh lebih baik daripada Aira-dan tentunya nasib Christy sendiri.

Berbeda dengan Aira, Arga justru terlihat sangat antusias. Dia buru-buru beranjak dari kegiatannya membaca komik dan bergabung bersama Christy dan Aira, bersila di bawah Christy.

"Apa, sih, Kak Arga ikut-ikutan mulu! Ai lagi ngomong sama Kak Dira tahu!"

"Ih, ya memang kenapa? Kan aku juga mau ngomong sama Kak Dira. Kak Dira kakak aku juga tahu. Malah, sebelum ada kamu, aku duluan yang jadi adiknya Kak Dira, wle!"

"Ih, Kak Arga!"

Melihat Aira mulai mengangkat tangannya ke udara dan bersiap untuk memukul Arga, Christy lekas menahan bocah itu sebelum benar-benar memukul orang lain.

Imperfect MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang