Bab 10. Susah, Senang, dan Garis Tipis di Antara Keduanya

839 114 24
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Jika boleh mengibaratkan, Azizi merasa dadanya seperti ditusuk menggunakan ribuan belati berkarat dari arah depan dan belakang. Tidak begitu tajam, tapi amat menghunjam.

Pisau itu seolah ditusukkan hingga menembus jantung dan paru-paru di balik tulang rusuknya, dibiarkan terbenam lama di sana sebelum akhirnya diputarkan secara perlahan-lahan. Memang tidak langsung membuatnya tewas mengenaskan, tetapi membuatnya sekarat bersama rasa sakit yang tiada duanya.

Demi segala hal yang ia cinta, Azizi berani bersumpah bahwa kesedihan yang hari-hari belakangan ia rasakan, ketakutan yang membuat tidurnya tak pernah tenang, serta kekecewaan yang membuatnya sekadar mengakui karunia Tuhan di dalam diri sang istri pun enggan, belum pernah ia cecap dan sesap pada babak kehidupan yang mana pun, bahkan satu kali pun.

Dan Azizi tidak pernah menyangka bahwa manusia pertama yang melemparnya ke dalam samudera nestapa adalah wanita yang paling ia puja, yang paling dia cinta.

Bukan, terlalu berlebihan jika mengatakan Azizi tidak berbahagia atas karunia Tuhan yang menyertai pernikahan mereka di dalam diri sang puan. Azizi bahagia dan mengucap syukur akan hal itu, demi apa pun. Namun, Azizi juga tidak dapat membohongi diri sendiri bahwa jauh di dalam relung hatinya, ia sedikit menyimpan duka, menyimpan ketakutan tiada dua tentang kemungkinan-kemungkinan paling menyedihkan yang bisa saja hadir dengan amat segera, merenggut semua bahagia yang susah payah ia rajut bersama Christy Sasadira sampai luluh lantah semuanya.

Azizi tidak pernah mempersiapkan diri untuk kehilangan yang semacam itu.

"Ku tengok-tengok muka kau macam badanku saja dari tadi. Masam betul. Tak kau dapat itu yang enak-enak dari istri kau, huh?"

Lamun panjang Azizi buyar dalam hitungan detik ketika lecutan pelan dari handuk kecil berwarna biru muda mengenai bahunya. Suara mesin-mesin mobil dan motor yang tadi sempat memudar akibat bisingnya kepala perlahan kembali lagi, seiring dengan kesadarannya yang telah penuh seperti sedia kala.

Menggeser posisi duduknya sebagai tanda bahwa ia memberikan tempat bagi Bang Togar untuk duduk, Azizi lantas mengulaskan senyum. "Duduk, Bang."

Duduk di kursi panjang yang terbuat dari anyaman bambu, Bang Togar mengangkat dagu sebelum melemparkan pertanyaan kepada Azizi Bagaskara. "Kenapa muka kau macam itu? Belum sembuh betul istri kau? Belum pulang dia dari rumah sakit?"

"Udah, Bang. Udah sampai rumah, kok, tadi pagi. Saya suruh istirahat dia di rumah."

"Nah, terus kenapa pula muka kau ditekuk terus macam itu? Coba kau cerita padaku."

Awalnya, Azizi sungkan untuk bercerita. Sebagai seorang anak paling kecil di keluarganya yang tidak dekat dengan kedua orang tua dan kakaknya, Azizi tidak biasa bercerita. Ia baru terbiasa membagikan banyak hal setelah bertemu dengan sang istri, beberapa tahun lalu saat sama-sama duduk di bangku kuliah.

Imperfect MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang