Bab 12. Rahasia Seorang Ibu

722 114 15
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Azizi benar-benar gelisah.

Bukan hanya karena amarah Christy yang belum kunjung mereda, tetapi juga karena sejak tadi perempuan itu bersikeras tak mau me
mbuka pintu kamar mereka. Jangankan membukanya dan membiarkan Azizi masuk ke dalam sana, menjawab pertanyaannya saja, tak mau Christy lakukan.

Azizi menjadi khawatir setengah mati sebab saat pulang dari rumah sakit kemarin siang, tekanan darah sang puan belum dapat dikatakan stabil dan normal-normal saja. Dokter bilang, masih relatif cukup tinggi untuk kondisi Christy yang sedang hamil muda.

Azizi khawatir akan atau bahkan telah terjadi sesuatu dengan istrinya.

Berkali-kali Azizi ketuk pintu itu menggunakan ruas-ruas jari-jemari. Berkali-kali juga Azizi menggumamkan permohonan maaf atas segala tindak dan tuturnya yang keterlaluan dan terlampau tak berperasaan sampai membuat Christy tersinggung kemudian marah besar. Dalam maafnya, Azizi tidak melakukan pembenaran atau pembelaan apa pun. Dia tahu bahwa tak semestinya lisannya mengeluarkan kalimat yang semacam itu.

"Sayang, tolong buka pintunya. Please, aku mau berangkat kerja dan aku perlu tahu kalau kamu baik-baik aja."

Untuk kesekian kali, Azizi memohon di depan pintu kamar mereka. Kepalanya tertunduk dalam-dalam, mengisyaratkan keputusasaan yang tidak terkiaskan.

Satu menit, dua menit, tiga menit.

Christy masih tidak memberikan jawaban apa pun atas perkataan dan permintaannya. Membuat Azizi lagi-lagi mengembuskan napas dengan begitu pasrah kemudian melempar pandangan ke arah jam dinding di atas pintu kamar.

Sudah hampir pukul delapan dan Azizi harus segera berangkat ke bengkel Bang Togar. Mau tidak mau, akhirnya ia menyerah juga. Memandang pintu kamar mereka dengan perasaan yang amat berat lantas kembali bersuara, "Aku berangkat, ya, Sayang? Kalau kamu mau dan butuh apa-apa sama mulai ngerasa enggak nyaman lagi, tolong tetap hubungi aku. Let me do something for you... and our child."

Dalam bisik dan keputusasaannya itu, Azizi masih berharap Christy mau menjawab perkataannya. Ia tidak masalah jika Christy menjawabnya dengan amarah, ketidakpercayaan, atau jawaban-jawaban lain yang nadanya sarat akan sinisme. Yang terpenting, Azizi tahu jika istrinya baik-baik saja di dalam sana.

Namun, sekali lagi, tampaknya hari ini Tuhan sedang enggan mengabulkan pintanya yang sederhana. Christy tetap tidak bersuara, tetapi bunyi amben yang berkeriut yang suaranya sampai ke telinga Azizi, menandakan jika Christy dalam kondisi—setidaknya patut dipercaya—baik-baik saja.

Membuang napas, Azizi kemudian mengambil jaket denimnya yang ada di hand rest sofa dan bersiap untuk segera berangkat bekerja, kendati diliputi kecewa karena gagal merayu Christy agar mau memaafkannya. Namun, tidak apa-apa. Mungkin Christy membutuhkan waktu untuk memaafkan semua kalimatnya yang keterlaluan kemarin siang.

Imperfect MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang