***
Marshanda Wiradilaga meremat jari-jemarinya yang bertumpang tindih di atas pangkuan paha. Bibirnya yang berwarna merah muda dan terkesan ranum itu tidak berhenti dia gigiti sejak tadi, jauh sebelum Kathrina menjemput dirinya dan Reivaldo Hutabarat di hotel tempat mereka bermalam pasca perjalanan melelahkan dari Jakarta ke Yogyakarta.
Kegelisahan Marshanda Wiradilaga ditangkap secara jelas oleh Reivaldo Hutabarat yang sedari tadi diam-diam mencuri pandang ke arah si bungsu Wiradilaga dari balik kemudi. Sambil mengetuk-ngetukkan jarinya di sisi setir yang tengah ia genggam erat-erat, Reivaldo memutuskan untuk membuka suara dengan perempuan yang hari ini, tidak, setiap hari, selalu terlihat cantik dengan rambut berombaknya yang dibiarkan tergerai sampai di bawah bahu.
"Saya enggak pernah melihat kamu setakut dan segelisah ini sebelumnya," ujar Reivaldo. Dia melirik ke arah spion di luar mobil, memastikan apakah aman bagi mereka menyeberang ke sisi jalan yang lain saat ini. "Kita cuma mau bertemu dengan saudari tirimu. Saya rasa, cukup berlebihan kalau kamu sampai merasa secemas itu. Saudarimu bukan orang jahat 'kan?"
"Tahu, deh. Berlebihan banget lo, Sha." Kathrina yang sejak tadi sibuk memoleskan lipstick di bibirnya yang tipis jadi ikut masuk ke dalam obrolan. Dia tutup cermin kecil yang sedari beberapa menit lalu ia pegang kemudian menolehkan kepala ke belakang, mengintip kawan karibnya yang tampak sangat tegang di kursi penumpang. "Saudari tiri lo enggak akan menghardik lo supaya pergi dari rumahnya yang sumpek itu. Dia harusnya cukup bersyukur karena manusia yang hidupnya udah dihancurkan sama mendiang ibunya mau datang dan menjalin hubungan baik sama dia. Bakal jadi enggak tahu diri kalau saudari lo malah marah-marah dan mengusir lo buat pergi. Victim mentality."
Marshanda Wiradilaga membuang napas mendengar serentet kalimat yang Kathrina Josehan tuturkan. Selalu, Marsha menjelma menjadi manusia paling tidak sejalan dengannya setiap kali mereka membicarakan perihal saudari tirinya yang pagi ini akan mereka temui. Seolah-olah, di mata Kathrina Josehan, keberadaan saudari tirinya adalah sebuah malapetaka yang tidak seharusnya Marsha cari-cari, apa pun alasan dan romantisasinya.
"Kalian semua enggak akan paham." Terlalu banyak hal yang ingin Marsha katakan kepada Reivaldo dan Kathrina. Saking banyaknya, justru hanya hal itu yang berhasil ia ungkapkan kepada mereka berdua. "Keluarga kami berdosa banyak sama saudari tiri gue dan mendiang ibunya. Akan jadi wajar kalau... kalau kemudian... dia enggak akan menerima niat baik gue, menghardik gue."
Reivaldo melirik Marsha lagi dari kaca spion tengah. Sudut bibirnya berkedut tipis sebelum akhirnya menatap jalan raya di depan mereka yang mulai padat merayap oleh lalu lalang mahasiswa yang akan segera berangkat ke kampus masing-masing. "Sha, ketakutan kamu terlalu berlebihan. Saudari tiri kamu, Christy Sasadira, enggak akan berbuat sejahat itu dengan orang yang punya niat baik."
Alis Marsha bertaut. Menatap pantulan wajah Reivaldo dari spion tengah. "Kenapa gitu?"
Reivaldo terdiam sebentar, memastikan mobil mereka terparkir di jalan yang tepat sebelum menurunkan Kathrina yang diburu-buru kelas pada pukul sepuluh nanti. "Karena saya tahu, Christy Sasadira bukan orang yang gemar merawat dendam pada orang lain. Dia akan menyambut kita dengan tangan terbuka, percaya saya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Imperfect Marriage
Fanfiction[CHRISZEE] "We are in trouble. Let's restart it together."