***
Azizi Bagaskara membuka mata pada pukul empat pagi, tepat saat alarm di atas nakas berdering beberapa kali.
Rasa berat yang bergelanyut di lengan kanannya membuat Azizi tidak dapat langsung beranjak duduk seperti biasa, terlebih saat tahu siapa yang menjadi penyebabnya—tentu, kepala sang istri yang sejak percintaan mereka yang penuh gairah semalam usai menjadikan lengan kanannya sebagai alas tidur.
Selama beberapa jenak, Azizi memilih untuk sama sekali tidak bergerak. Dipandanginya lekat-lekat wajah ayu milik sang puan yang tanpa cela, mengaguminya dengan kesadaran yang sempurna, kemudian membiarkan dirinya kembali terjerembab pada perangkap cinta milik Christy Sasadira.
Sembilan tahun berjalan sejak mereka saling kenal dan saling sapa, sejak duduk di bangku Menangah Atas yang serba menyenangkan, berjalan terus hingga sekarang. Meski semuanya tidak mudah, penuh cadas dan terjal perjalanan yang tidak dapat Azizi jabarkan dalam satu tarikan napas, tapi setidaknya, ia merasa bersyukur karena bersama Christy semuanya tetap dapat mereka lalui, dengan cinta yang kata orang-orang di sekitar mereka adalah kemustahilan, kenaifan, dan ketidakmungkinan.
Azizi tidak akan mengelak, tidak akan juga menyalahkan orang-orang yang berkata demikian. Toh, jika menengok ke hari-hari yang sudah lalu dan lepas, ia juga mengakui, bahwa tidak pernah ada sedikit pun keberanian dalam dirinya untuk sekadar membayangkan dapat merengkuh tubuh Christy setiap malam, setiap hari, bahkan setiap detiknya.
Sama sekali, Azizi tak pernah membayangkannya. Tembok tinggi yang bercokol di antara dirinya dan sang puan menjadi alasan mengapa Azizi tidak pernah berani untuk benar-benar bermimpi memiliki Christy, setidaknya di dalam kehidupan yang satu ini.
Bersyukurnya, yang Azizi cintai adalah Angelina Christy. Wanita paling pemberani sedunia yang pernah dikenal oleh Azizi Bagaskara. Semua ketidakberanian Azizi untuk sekadar memimpikan kehidupan indah, penuh suka cita, dan rasa tenteram akibat dapat senantiasa pulang dalam rengkuh hangat Angelina Christy, berbanding terbalik dengan perempuan itu. Christy berani menerjang apa pun, meyakinkan dirinya sendiri dan Azizi Bagaskara bahwa kehidupan menyenangkan yang mereka ingini dapat terlaksana, bukan hanya damba yang entah dapat atau tidak menjadi nyata.
Christy berani menentang segalanya, meyakinkan semuanya, kecuali keluarganya, keluarga mereka.
Azizi memejamkan mata. Mengusir semua hal menyedihkan yang tiba-tiba saja membuat gaduh di dalam tempurung kepala—ya, masih terlalu pagi untuk mengingat-ingat pukulan Papa, kekecewaan Mama, juga air mata kakak sulungnya.
Dengan gerakan yang sangat pelan, Azizi turunkan kepala Christy dari lengannya, berusaha sekuat tenaga agar tidak mengusik tidur lelap sang puan. Beranjak duduk, menjumput pakaiannya yang semalam dilempar ke sembarang arah oleh mereka berdua, kemudian memakainya dan berjalan ke luar kamar. Azan subuh yang berkumandang samar dari langgar-langgar di dekat rumah mengharuskan Azizi untuk segera membersihkan diri sebelum memenuhi panggilan-Nya yang sebanyak lima kali dalam sehari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Imperfect Marriage
Fanfiction[CHRISZEE] "We are in trouble. Let's restart it together."