Bab 09. Ketakutan Bapak

787 108 27
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Azizi baru saja selesai mengemasi beberapa helai pakaiannya dan pakaian Christy ke dalam ransel kecil, saat menyadari bahwa pintu kamar mandi di ruang rawat sang istri tak kunjung terbuka sedari tadi.

Hal tersebut tentu membuat kening Azizi membentuk kerut-kerut temporal yang muncul akibat rasa penasaran. Meletakkan ransel kecil yang sudah ia tutup resletingnya, Azizi lantas melangkahkan kaki menuju ke pintu kamar mandi. Diketuknya pelan pintu tersebut menggunakan ruas jari jemari, menegur sang istri.

"Dira, kok, lama banget? Kamu enggak apa-apa 'kan?"

Tak lama setelah pertanyaan itu Azizi lontarkan, bunyi gemericik air yang tadi terdengar samar dari arah dalam kamar mandi berhenti secara perlahan, menandakan bahwa kegiatan Christy di dalamnya telah selesai pula.

Dalam hitungan detik, pintu berwarna putih pudar itu pun terbuka. Christy muncul dari dalam sana sambil merengkuh perutnya menggunakan lengan kanan. Wajah sang puan yang terlihat pias membuat Azizi tidak tahan untuk tidak menangkup pipi Christy menggunakan kedua telapak tangan.

"Kenapa? Baru muntah lagi?"

Christy mengangguk pelan. Dipeluknya tubuh Azizi erat-erat sambil mencium aroma pewangi pakaian yang bercampur dengan pemutih rumah sakit yang khas. Setelah diingat-ingat, selama berada di tempat ini, Azizi tidak pernah lagi merengkuhnya setiap malam datang. Seringnya tidur terpisah di kursi besi berbantal biru tua yang pudar atau justru di lantai bawah sambil menggelar tikar.

"Kepalaku pusing banget. Muter-muter enggak berhenti, jadi ngerasa mual."

Mendengar suara parau Christy, Azizi menjadi semakin khawatir. Diangkatnya wajah sang istri untuk dia tatap lekat-lekat, masih tidak melepaskan tangkupan tangannya di pipi bulat puannya. "Belum mendingan? Jangan pulang hari ini aja gimana? Takut nanti kenapa-kenapa di rumah."

Christy menggeleng dengan cepat. Helai-helai anak rambutnya yang berjatuhan di kening dan pelipis mata refleks berayun pelan akibat gerakan kepala yang ia lakukan. "Mau pulang. Aku enggak suka bau rumah sakit."

"Tapi—"

"Enggak apa-apa. Nanti pasti bakal mendingan, kok." Menundukkan kepala, mengusap perutnya sebentar. "Kayanya ini wajar karena Adik baru umur sekian minggu di perut Ibu, ya?"

Sebersit senyum yang hadir di sudut bibir Christy berbanding terbalik dengan raut wajah Azizi. Saat melihat istrinya mengusap perut, ia refleks memalingkan wajah, merasa tak sampai hati menyaksikan hal tersebut karena alasan yang bersifat entah apa—barangkali karena di kepalanya masih berputar segala kemungkinan terburuk yang akan terjadi setelah adanya janin itu di dalam kehidupan sang istri.

Perubahan air muka dan palingan wajah sang suami sudah pasti ditangkap oleh Christy. Lengkung bibir yang tadi terangkat naik jadi ia turunkan kembali, menyadari bahwa Azizi masih belum benar-benar menerima keputusan dan semua ketidakjujurannya selama ini.

Imperfect MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang