4

65 6 0
                                    

Galih menjelajahi pandangannya ke kamar kosan Arga yang... sedikit berantakan. Ini pertama kalinya ia datang ke tempat Arga. Biasanya Galih, Arga, dan yang lainnya nongkrong di warnet atau tempat karaoke atau suatu restoran. Dan ia rasa, ia harus memperhatikan tempat ini sedetail mungkin.

Ia menyukai tempat ini. Memang sedikit berantakan, tapi Arga tinggal disini! Arga yang Galih sukai tinggal disini.

Arga sudah sibuk melipat tempat tidurnya dan menjadikannya sebuah sofa yang empuk. Melihat arah pandang Galih yang jelalatan melihat kamarnya, Arga segera melempar sepotong pakaian kotor yang ia pegang ke arahnya, "Bisa ga liatinnya santai aja?" Gerutunya.

"Aku, aku ga nyangka bakal seberantakan ini," jelasnya. Galih gugup karena nyaris tertangkap basah berusaha merekam setiap sudut kamar ini di memorinya.

Ia menunduk dan melihat boxer Arga disana. Boxer yang dilempar ke wajahnya tadi. Kakinya segera menggeser boxer itu dan menahan rona merah agar tidak timbul di wajahnya. Sumpah, boxer Arga?! Aku melihat boxer Arga! Aku terkena lemparan boxer Arga?!

Selagi Galih sibuk dengan pikirannya, Arga bergerak mengeluarkan meja dari kolong sofa dan menyajikan minuman kaleng di atasnya. Tanpa basa-basi, Kevin langsung mengambil minuman kaleng dan menyeruputnya. Sesudahnya, ia segera rebahan di atas sofa dan memainkan ponselnya.

"Kau sering kemari, Kev?" Tanya Galih.

Kevin mengangguk, matanya tidak lepas dari ponselnya, "Tapi, udah lama sih ga kemari."

Arga mendecih, "Udah lama? Kau seminggu selalu datang kemari dan baru tidak datang tiga hari belakangan ini!" Ungkapnya kesal yang hanya dibarengi kekehan menyebalkan dari Kevin.

Galih sedikit... kecewa. Dengan dirinya. Andai ia punya keberanian untuk jalan berdua atau ngobrol berdua saja dengan Arga sedari awal -mereka selalu ngumpul ramai-ramai-, ia pasti bisa dekat dengan Arga. Hanya saja, ia tidak cukup berani. Ia takut perasaannya terus tumbuh dan ia kehilangan fokus pada pertandingan-pertandingan mendatang.

Dan juga alasan lainnya.

"Gal, kalau mau jajanan ambil aja di kulkas ya," suruh Arga sementara tangannya masih mengutip baju-baju kotornya yang berserakan di lantai ke dalam ember. Termasuk boxer tadi.

"Aku mandi dulu aja," jawab Galih singkat. Ia membuka tas olahraganya dan merogoh isinya, "ah... aku ga bawa handuk," ungkap Galih.

Arga membuka lemarinya dan melempar handuk hijau tua pada Galih, "Celana dalam bawa ga?"

"E...Bawa kok."

Galih langsung masuk ke kamar mandi setelah menerima handuk dan mengambil pakaian gantinya. Begitu masuk, ia langsung berdecak kagum. Kamar mandi Arga terlihat lebih rapi, bersih, dan wangi dari yang ia bayangkan. Ia menatap rak peralatan mandi yang dipenuhi oleh wangi-wangian Arga. Shampo, sabun, sabun cuci muka, odol, bahkan penyegar mulut.

Galih menggeleng, ia terlihat seperti stalker sekarang. Ia berhenti memperhatikan peralatan mandi itu dan dengan segera memulai ritual mandinya.

Diluar, Arga dan Kevin sudah merebahkan diri, si Pemilik kamar di lantai dan si Pendatang di atas sofa. Tamu adalah raja.

"Tumben banget kau keinget untuk ngajak Galih?" Celetuk Kevin.

Kevin dan juga Arga tahu sekali diantara mereka semua, Galih dan Archio adalah manusia yang tidak pernah terlibat dalam hubungan romantis. Bahkan saat yang lainnya bercerita mengenai hubungan romantis, Galih dan Chio kelihatan tidak tertarik sama sekali.

Seperti seorang suci yang sudah berpuasa setahun lamanya dan kehilangan firasat kelaki-lakiannya.

"Temennya Cindy ada yang pengen kenalan sama Galih." Ia tidak melepaskan ponselnya, sedang sibuk bertukar pesan dengan Cindy.

"Tapi, tumben banget Galih mau. Aku kira tadi dia bakal menjawab dengan senyuman terus bilang, 'Aku lagi capek, lain kali!', terus langsung pergi."

Arga mengangguk setuju.

"Berarti alasan Reggy tadi boongan?" Tanya Kevin.

"Ga ah, kalau itu setengah beneran setengah boongan. Niatnya kita memang berempat, cuma karena Reggy ga bisa yaudah jadiin alesan aja," jelas Arga.

"Kenapa ga ajak Hima, gantinya Reggy?"

"Lama-lama kau mirip petugas sensus, nanya-nanya mulu," seloroh Arga bercanda.

"Ya nanya doang anjir!" Kevin melempar bantal guling ke arah Arga.

Arga menangkap bantal itu dan meletakkannya di bawah kepalanya. Ia tersenyum jahil pada Kevin, "Makasih ya."

Tak menjawab perkataan Arga, Kevin berdecak dan kembali sibuk dengan ponselnya. Arga memang tipe anak yang ngeselin dan bisa membuat orang di sekitarnya mengutuk Arga habis-habisan. Tapi, entah pesona apa yang ia punya sampai para siswi sepertinya tutup mata dengan sifatnya, hanya melihat sisi baiknya saja.

'Mungkin Arga pakai pelet.' Inilah yang sering diungkapkan Kevin.

Galih yang sudah selesai mandi, keluar dari kamar mandi memakai kaus basket dan celana pendeknya. Disekanya air dari rambutnya dengan handuk sambil bercermin.

Arga yang melihat Galih sudah selesai langsung mengeluarkan hair dryer dan juga catokan mini beserta serum rambut, "Sini Gal, biar dikeringin."

Galih menoleh dan melongo melihat peralatan Arga yang ada di atas meja, "Ini... apaan?"

"Ya rambutnya di-styling dong, biar cakep kayak aku."

Galih menggeleng, "Ah, ngapain coba. Cuma kencan main-main doang, 'kan? Udahlah, sini aku yang keringin sendiri aja." Galih menolak karena ia tahu pasti akan bagaimana kondisinya kalau Arga menyentuh dirinya.

"Ih, melawan. Sini cepat!" Perintah Arga. Melihat Galih tidak bergerak, Arga memiting dan menarik Arga duduk di lantai sementara dirinya di atas sofa. Menggeser paksa Kevin yang memakan tempat cukup banyak di atas sofa.

Kevin bangkit dari rebahannya dengan rusuh, "Geser, geser! Aku angkat telpon dulu." Matanya melirik ke arah Galih yang menunduk tak menunjukkan wajahnya, "udah, Gal. Percaya aja, bakal cakep kok." Berusaha menenangkan Galih yang terlihat kalut.

Bukan karena khawatir dirinya akan jelek, tapi Galih takut wajahnya yang memerah akan kelihatan oleh Arga dan ia tidak mau hal itu terjadi. Not in a million years!

Arga menghidupkan hair dryer dan mulai menyusuri rambut Galih dengan jemarinya, mencoba untuk memisahkan helai-helai rambut hitam kelam milik Galih.

Tenang, tenang, dia tidak mungkin bisa melihat wajahku dari belakang. Dia tidak akan tahu kalau wajahku memerah.

"Bilang kalau kepanasan ya, Gal. Soalnya telingamu memerah."

Galih spontan menutupi telinganya dan menoleh ke arah Arga.

"EH? Wajahmu merah sekali?" sambut Arga melihat wajah Galih yang sama merahnya dengan lobster rebus.

Galih langsung meraih hair dryer dari tangan Arga, "Biar aku sendiri."

Dengan perasaan malu dan jantung yang berdegup sangat kencang, Galih mengeringkan rambutnya. Isi kepalanya sangat berisik saat ini dan kamar Arga yang sangat sunyi sama sekali tidak membantunya untuk menenangkan pikirannya.

Di belakang Galih, Arga mencoba untuk tidak tertawa karena sebenarnya tidak hanya telinganya saja, tengkuk leher dan bahunya yang tampak dari balik baju basketny pun turut memerah.

"Oke... kabarin kalau udah agak kering. Biar dipakein serum rambut," ucap Arga setelah berhasil menahan tawanya. Ia segera rebahan kembali dan mengirim pesan pada Cindy.

I LIKE YOU? 2 [ BL ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang