Mereka berlima mulai menyantap masakan yang tersedia. Tom duduk di sebelah Rachel dan Nara. Nenek dan Liana duduk di hadapan mereka.
Liana menyeringai saat mengunyah daging ayam itu.
Tom mengangkat kepalanya, "Enak, Li?"
Gadis rambut keunguan itu mengangguk. "Akhirnya setelah sekian lama, aku dapat menyantap daging yang lezat lagi." Liana meneguk segelas air yang ditaruh didekatnya. "Selama ini, aku kalau mau makan daging harus menangkap binatangnya dulu. Karena, letak desa ini sangat jauh dari perkotaan. Terlebih desa ini punya keterbatasan transportasi. Sehingga tidak memungkinkan untuk membeli daging."
Rachel juga mengangkat kepalanya, dia menoleh pada neneknya Liana. "Apakah nenek itu nenek kandung mu, Li?"
"Benar, dia juga istri dari kakek ku yang mendirikan Geranium."
"Abraim Wizenong?" Tom bertanya, walau dia sudah tahu.
Liana menaikkan satu alisnya, "bagaimana kau tahu?"
"Orang tua Puput yang menceritakannya."
"Bagaimana kau tahu tentang Puput?" Liana semakin penasaran setelah nama sahabat lamanya itu disebut.
Tom mengambil foto kecil dari saku celana menggunakan tangan kirinya. Lalu menyerahkan foto itu pada Liana.
Liana menerima foto itu, dia menatap kertas kecil di tangannya dengan seksama. "Sudah lama sekali aku tidak bertemu dengan Puput semenjak kejadian itu," ucap Liana.
"Kau simpan saja foto itu, sebagai kenang-kenangan."
Liana meletakkan foto itu di sampingnya. Dan kembali menyantap nasi. "Jadi, kalian sudah mendengar semua tentang ku dari paman Adeon dan Bibi Galia?"
Tom, Rachel, dan Nara mengangguk bersamaan.
"Kami saat itu sedang ingin meminta obat untuk mengobati penyakitku," ujar Nara. "Setelah Bibi Galia memberi obatnya, dia dan paman Adeon sempat bercerita tentang Otula Wizenong."
"Kami juga tahu apa yang terjadi pada keluargamu. Kau sempat mengeluarkan sihir kekejian," lanjut Tom.
Liana menggigit bibir, dia tidak suka kalau masa lalu itu kembali diungkit. "Benar," jawabnya lirih. "Apakah polisi masih mencariku hingga kini?"
"Aku tidak tahu, Li. Orang tua Puput juga tidak menceritakan bagian itu. Sepertinya polisi tidak pernah tahu soal perbuatan mu, dan menganggap itu hanya kecelakaan saja. Mungkin sekarang kasus tentang keluargamu sudah ditutup." Jawab Tom, sambil mengunyah daging ayamnya.
"Begitu, ya." Liana kembali fokus ke nasinya.
"Kau tadi membicarakan suami ku, Nak?" Nenek Liana ikut dalam percakapan.
"Eh? Nenek dengar?" Tom bertanya, menoleh pada nenek itu.
Nenek terkekeh, "tentu saja aku dengar, nak. Walaupun sudah tua begini, tapi telinga ku masih belum rusak. Oh ya, aku tadi belum menyebutkan nama. Namaku Kalani Adanong." Kalani berbicara dengan suara yang serak. "Berbicara tentang Abraim, aku bercerai dengannya saat umurku tiga puluh dua. Dia punya keinginan untuk mendirikan geng mafia, namun aku menolak. Sehingga saat itu, aku berpisah dengannya. Abraim meninggalkan desa ini.
Kalani mengangkat gelas, meneguk isinya. "Sambil membawa pergi anak kami, Otula, yang masih berusia dua tahun. Aku sudah mendengar cerita dari Liana, bahwa penerus geng kakeknya adalah ayahnya sendiri."
Tom mengangguk-angguk.
Kalani terus mengunyah ayam di piring, "mm, dagingnya enak sekali, nak. Terimakasih sudah berbagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hand and Wonders
FantasySeri pertama dari Hand And Wonders. Semuanya berawal dari pemilihan kelompok untuk melaksanakan ujian praktek bertahan hidup. Pak Palmo, selaku wali kelas di kelas 4 B, memilih Tom, Rachel, dan Nara untuk sekelompok. Awalnya mereka bertiga ingin pro...