"Ra, kau menangis, ya?" Tom menoleh ke kursi belakang. Air mata Rachel makin jatuh.
Rachel cepat-cepat menghapus air mata di pipinya. "Eh, tidak, kok."
"Lalu kenapa mata mu merah?"
"Ah..." Rachel menggaruk-garuk kepala, memikirkan alasan untuk menjawab pertanyaan Tom itu. "Aku habis potong bawang. Hehe." Nyengir.
"Tidak ada bawang di dalam mobil, Ra!" Ujar Tom jengkel. "Nara, kau butuh tisu?"
Nara menurunkan tangan dari wajah, mengusap air mata yang membasahi pipinya, lalu menatap Tom. "Tidak usah!"
Tom tertawa lebar. Mobil Kazuko masih terus melaju di jalanan kota Kito. Pasar semakin dekat di ujung sana.
"Aku tidak tahu kata-kata yang ditulis Izato ini dapat membuat kalian menangis. Lebay sekali." Pemuda itu kembali tertawa, kali ini nadanya agak terdengar mengejek.
Rachel jadi kesal. "Itu tandanya kami masih punya hati, tahu tidak? Kau tidak menangis mungkin karena tidak punya hati!" Dia berseru, menendang kursi Tom.
"Hei, jangan, Ra!" Tubuh Tom terdorong. "Aku bukannya tidak punya hati, Ra. Tapi mataku telah kering, aku sudah lelah untuk menangis." Raut wajah Tom berubah, dia menatap lamat-lamat buku harian Izato. Seperti ingin melampiaskan sesuatu pada buku itu.
"Eh?" Rachel menurunkan kaki, rasa kesalnya mendadak hilang.
"Tom?" Nara memanggil, dengan intonasi yang rendah. Seperti rasa kasihan.
"Bagaimana menurut anda kata-katanya, paman?" Tom mengabaikan Rachel dan Nara. Mengalihkan percakapan kepada Kazuko.
"Kata-katanya indah, Tom. Aku paham sekarang, kenapa Izato melakukan semua tindakan kriminal itu. Tidak lain dan tidak bukan hanyalah untuk Louan. Aku bersyukur kini tidak ada lagi pertikaian antar etnis di Louan. Aku sangat berterimakasih padanya." Kazuko mengusap pipi dan air matanya yang masih basah.
"Kurasa aku juga berpikir begitu." Tom mengangguk setuju.
Beberapa saat setelahnya, mereka sampai di pasar kota Kito. Pasar itu bersih. Serta tiap tokonya memakai bentuk bangunan atap melengkung khas Louan, dengan dinding bercat warna merah. Mobil diparkiran tepat di depan bangunan supermarket. Bentuk bangunannya berbeda dari kebanyakan bangunan di negara Louan. Wajar saja, karena supermarket adalah bangunan komersial.
"Kita sampai." Kazuko membuka pintu. "Apakah kalian masih ada perlu dengan ku?" Dia bertanya pada tiga remaja yang masih duduk di dalam mobilnya.
Mereka bertiga menggeleng, tidak ada.
"Apa kalian masih ingin lanjut mencari Izato?"
"Ya, paman. Kami juga harus mengembalikan buku harian ini padanya." Tom mengangkat buku sampul hijau memudar itu. "Itu perintah dari kakek Sukazao."
"Baiklah. Kalau begitu, sampai ketemu lagi, nak." Kazuko sudah keluar dari mobil. Berjalan menuju pintu masuk supermarket. "Jika kalian masih ada perlu dengan ku bilang saja, aku ada di dalam." Dia berbicara dari jauh.
Tiga remaja itu segera keluar dari mobil Kazuko. Setelah berdiri di luar, mereka memperhatikan kesibukan di pasar ini sejenak. Ada macam-macam toko disini. Ada toko baju, toko barang elektronik, toko perabotan, toko makanan, toko buku, dan toko-toko lainnya. Penjual dan pembeli sama-sama sibuk dalam dunianya masing-masing.
"Sekarang kita kemana, Tom?" Rachel bertanya, sambil memperbaiki anak rambut di dahi.
"Kita kembali ke kota Mozu. Kita akan masuk penjara."
"HAH? MASUK PENJARA?!" Rachel dan Nara berseru bersamaan.
"Bukan, bukan masuk penjara seperti itu," Tom menggeleng. "Kalian tidak mengerti rupanya. Kita minta tolong pada staf administrasi penjara disana, bertanya soal Izato."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hand and Wonders
FantasiaSeri pertama dari Hand And Wonders. Semuanya berawal dari pemilihan kelompok untuk melaksanakan ujian praktek bertahan hidup. Pak Palmo, selaku wali kelas di kelas 4 B, memilih Tom, Rachel, dan Nara untuk sekelompok. Awalnya mereka bertiga ingin pro...