11. BOCAH SIALAN

62 43 0
                                    

Tom, Rachel, dan Nara berjalan di jalanan setapak desa Abangan. Beberapa penduduk menyapa tiga remaja itu. Dan mereka pun balas menyapa.

"Kau yakin ini jalannya?" Tanya Rachel.

Tom mengangguk. "Tidak salah lagi harusnya."

Setelah menempuh beberapa langkah, persis di bagian kanan mereka, ada rumah dua tingkat dengan cat hijau muda. Sementara di depannya, berdiri mansion putih yang mewah. Namun seperti kata pelayan tadi, mansion itu tidak ada penghuninya lagi. Ada beberapa garis polisi di pintu-pintu dan jendela mansion tersebut.

"Pasti ini rumahnya." Ucap Tom. Saat berjalan menuju pintu masuk rumah yang mereka tuju. Rachel dan Nara mengikuti dari belakang.

Tom mengetuk pintu.

Pintu terbuka. Terlihat seorang wanita paruh baya dengan rambut yang sama seperti pelayan di rumah makan tadi. Sama-sama dikepang.

"Permisi, Bi." Tom berkata sopan

"Ada yang bisa ku bantu?" Wanita itu bicara. Raut wajahnya terlihat ramah.

"Kami sedang mencari obat untuk mengobati teman kami, Bi. Apakah ini rumah pembuat obat yang manjur itu, Bi?"

"Obat yang manjur?" Alis wanita itu terangkat. "Oh aku paham. Iya, kami yang memproduksi obat itu. Silahkan masuk." Wanita tersebut memberi jalan.

Tiga remaja itu segera masuk ke dalam rumah. Kemudian mereka bertiga duduk di sofa ruang tamu. Rachel dan Nara duduk bersebelahan di salah satu sofa, sementara Tom duduk di sofa yang satunya.

"Kalian ini darimana?" Wanita tadi datang sambil membawa beberapa gelas minuman, serta piring berisi biskuit.

"Kami dari Narais, Bi." Rachel yang menjawab. Sambil menerima gelas minuman.

"Jauh sekali, dari negara seberang." Wanita itu duduk. "Apakah kalian bertiga sedang mengunjungi kerabat di Pangalo?"

Rachel menggeleng. "Kami ada sebuah misi."

Wanita itu mengangguk. "Ngomong-ngomong, siapa nama kalian?"

"Namaku Rachel, ini Nara." Gadis rambut ekor kuda itu menunjuk Nara di sebelahnya. "Lalu, cowok yang comot makan cemilan itu namanya Tom."

"Wah, tumben ada tamu." Tiba-tiba, muncul seorang pria paruh baya dari salah satu ruangan. Dia lalu duduk di samping wanita tadi.

"Perkenalkan, ini suami ku, Adeon Damino. Dan aku, Galia Etapita." Wanita itu memperkenalkan dirinya dan suaminya.

"Aku sudah mendengar nama kalian tadi. Jadi tidak usah diulang." Ucap Adeon, tersenyum tipis. "Bagaimana kalian bertiga bisa tahu lokasi rumah kami?" Dia bertanya ramah. Penasaran.

"Anak anda yang memberi tahu, saat kami makan di rumah makan desa Abangan." Jawab Tom. Kembali mengambil cemilan di atas piring.

"Oh. Kalian sudah kenal dengan anak kami?"

Tiga remaja itu menggeleng.

Adeon menyandarkan punggungnya di sofa. "Namanya Puput. Dia memang bekerja paruh waktu sebagai pelayan rumah makan. Semenjak dia lulus dari akademi satu tahun yang lalu. Hitung-hitung untuk mencari uang juga."

Bug! Terdengar suara pintu di gebrak. Sontak, orang-orang di ruang tamu menoleh pada pintu masuk. "Minggirlah! Penguasa Pangalo ingin lewat!" Terlihat seorang bocah yang menggunakan kain piknik sebagai jubah, lalu memakai panci sebagai topi. Dia merengsek masuk ke dalam rumah. "Aku akan memusnahkan kalian." Bocah itu lalu berlarian di ruang tamu. Dia berfikir bahwa dia adalah raja iblis.

"Terlalu sering nonton kartun bocah ini." Gumam Tom.

Disaat bocah itu berlari didekat Tom, dia tiba-tiba terjatuh. "Aduh." Bocah tersebut meringis kesakitan. Kemudian berusaha berdiri. Pandangannya tertuju pada Tom.

Hand and WondersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang