4. Wawancara

754 74 0
                                    

Sasti menabur bunga di makam almarhum suaminya yang meninggal karena kecelakaan lima tahun lalu. Saat itu usia Sasti masih 29 tahun. Cukup muda untuk menjadi janda. Pernikahannya juga baru berjalan tiga tahun. Mereka belum dikarunia anak karena dulu masih menunda dan saat menjalankan program hamil, Rio meninggal.

"Yo, Rinjani kemarin diliput sama akun media lokal lagi. Mereka suka sama cake wortel hasil kreasi kamu. Thank you ya, Yo." 

Sasti hampir seminggu sekali mengunjungi makam sebelum pergi Rinjani. Setelah mengunjungi makam ibunda, Sasti selalu mampir ke makam Rio. Selalu. Ia juga selalu menceritakan apa pun yang terjadi di kehidupannya pada Rio. 

Walaupun tak yakin didengar, Sasti tetap bercerita seperti saat Rio masih hidup dulu. Rio memang bukan cinta pertama Sasti, tapi ia benar-benar mencintai suaminya. Sasti setuju untuk menikah dengan Rio setelah mereka menjalin hubungan hampir 4 tahun sejak masa kuliah. 

Rio dan Sasti hampir memiliki interest yang sama. Memasak dan Makanan. Keduanya suka masak walaupun dalam hal ini Rio yang lebih jago. Dari situlah mereka punya ide untuk revamp Rinjani.

"Yo, aku sudah ketemu sama temannya Rifky yang juga mau nikah buat dapat status aja. Kata Irin, dia cocok buatku, tapi dia jauh lebih muda. Jujur, aku bingung, Yo." Sasti terus bicara walau tahu ia hanya bicara pada angin.

Sasti menghela napas panjang. "Papa baru mau ngasih Rinjani kalau aku menikah lagi. Kamu tahu kan itu impossible? Ya berarti aku harus kasih Rinjani untuk Dea. Ini nggak fair. Aku yang capek, aku juga yang harus ngalah ke Dea."

Terdengar suara geluduk pelan dan Sasti langsung mendongak ke atas melihat langit. Awan abu-abu sudah mulai menguasai langit. Ini masih pagi tadi suasananya sangat sendu sesuai dengan perasaan Sasti. Pasti sebentar lagi hujan dan Sasti tidak ingin kehujanan.

"Yo, aku pulang dulu ya. Kayaknya mau hujan, Minggu depan aku balik lanjutin cerita lagi."

Sasti pun akhirnya bangkit dan mulai berjalan cepat menuju parkiran mobil sebelum hujan turun. Ia bernapas lega karena bisa sampai Rinjani tepat waktu sebelum hujan deras turun.

Suasana di luar mendadak mencekam karena gelap dan hujan deras. Tampaknya musim hujan sudah datang. Hari-hari di mana hujan deras setiap hari. Sasti berdoa supaya hari ini tidak hujan seharian. Biasanya, Rinjani akan sepi kalau hujan.

Benar saja, hari ini Rinjani tak seramai biasanya karena hujan deras seharian dan hanya berhenti selama beberapa jam saja. Hanya ada beberapa pengunjung yang datang saat hujan berhenti dan bertahan di sana menunggu hujan reda.

Karena lumayan sepi, Sasti bisa duduk di salah satu meja yang punya pemandangan keluar. Ia menikmati hujan yang turun tiada henti sambil melamun. Sasti masih memikirkan soal kepemilikan Rinjani. Ia ingat bahwa Dea ingin memberikan Rinjani padanya apa pun yang terjadi. Itu cukup menenangkan baginya, tapi hal yang mengganggunya lagi adalah dirinya menjadi penghalang niat baik Dea. 

Sasti tidak ingin menjadi penghalang Dea untuk menikah. Dea bisa melompatinya untuk menikah, tapi ayah mereka pasti tidak mengizinkan. Itu yang sangat mengganggunya saat ini. Semua keputusan ayah seakan bergantung pada Sasti semua. Jika Sasti tidak melakukan keinginan sang ayah, Dea juga yang akan menanggung akibatnya. Dan jika ia memang harus menikah lagi, tampaknya Banyu bukan orang cocok.

Mereka memang memiliki visi yang sama, tapi Banyu terlalu muda. Ia memikirkan reaksi orang tua Banyu yang kemungkinan akan terkejut setelah mengetahui usia dan statusnya. Bagaimana jika orang tua Banyu ternyata orang yang memiliki pandangan negatif terhadap janda? Tidak semua orang memiliki pemikiran terbuka untuk membiarkan anaknya menikah dengan janda. Potensi persoalan di awal ini pasti akan merepotkan untuk mereka. Jadi, Banyu tidak cocok untuknya. 

diaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang