37. A

218 61 2
                                    


Sasti tidak berhenti menangis dan Banyu makin bingung. Mereka sudah tidak lagi di depan pintu melainkan di ruang tamu. Banyu tidak ingin menyalahkan Sasti atas apa yang terjadi pada mereka. Itu sudah berlalu. Namun, Sasti tampaknya tidak berpikir seperti itu.

Akhirnya, Banyu membiarkan Sasti menangis sampai puas sebelum akhirnya ia masuk ke dapur untuk mengambil air untuknya. Ia sempat melirik rumah Sasti, ternyata tidak banyak yang berubah selain tambahan rak buku lagi di ruang tengah.

Banyu memberikan air minum pada Sasti yang sudah tenang. Ia terus memperhatikan Sasti dengan lekat. Mata Sasti yang sembab dan hidungnya yang memerah sungguh terlihat menggemaskan baginya. Ia memang tidak bisa menghindari menatap Sasti terlalu lama.

Tidak ada yang bisa ia ungkapkan lagi pada Sasti selain kata rindu. Namun, ia menahan diri karena ia tidak pantas mengatakan itu. Ia bahkan bukan temannya.

"Nyu, kamu marah sama aku?"

Banyu mengernyit. "Marah? Marah karena apa?"

"Marah karena aku nggak balas pesan kamu dan aku ngedorong kamu menjauh."

Banyu menghela napas panjang. "Oh, aku nggak marah. Aku juga nggak marah sama kamu. Aku yang seharusnya sadar kalau aku nggak bisa maksa perasaan kamu, Sas."

"Maafin aku, Nyu."

"Bukan kamu yang harusnya minta maaf, tapi aku. Aku yang maksa dan ngejar-ngejar kamu terus. Aku harusnya minta maaf karena bikin kamu nggak nyaman."

Sasti menggelengkan kepalanya. "Kamu nggak perlu minta maaf. Aku yang harusnya jujur ke kamu soal perasaanku saat itu. Now, it's too late dan rasanya nggak tepat buat ngakuin itu sekarang."

"No, just tell me. Aku pantas tahu perasaan kamu saat itu gimana, Sas."

Sasti terlihat ragu, tapi akhirnya ia mulai jujur. "Maaf kalau aku terlambat mengakui perasaanku ke kamu. I do have a feeling for you, tapi saat itu aku belum bisa mengartikan ini sepenuhnya. Kata Irin, kamu bisa bikin aku kelihatan lebih happy."

Banyu terlihat bingung. "Kenapa nggak pernah bilang?"

Sasti menunduk dan memainkan jemarinya. "It's not easy, Nyu. Dulu, aku pernah janji sama Rio kalau aku nggak akan jatuh cinta atau nyari pasangan lagi. Aku bakal setia terus sama dia, tapi... aku sudah ingkar."

"Sas..." Banyu pun mendekat lagi dan perlahan ia menggamit tangan Sasti. Untungnya, Sasti tidak menghindar dan ia membalas genggaman Banyu perlahan.

"Aku nyaman ada kamu. Alasan aku nggak pernah nyariin kamu karena aku tahu kamu akan selalu nyamperin aku. Kamu selalu begitu makanya aku nggak cemas. And then... ketika aku tahu kalau kamu sengaja nggak datang, aku mulai mikir apa yang terjadi dan aku tahu kalau ternyata itu karena ulahku. Aku yang diam-diam dorong kamu untuk pergi dan menjauh."

"Aku nggak akan bohong dengan bilang aku baik-baik aja saat itu. Selama di Maluku dulu, aku juga banyak mikirin soal kita. Berkali-kali aku nyatain perasaan, tapi kamu nggak pernah respons. Aku mikir apakah selama ini aku yang terlalu memaksakan hubungan kita." Banyu menarik napas panjang. "Aku bikin reminder di hp kamu kapan aku pulang, tapi kamu nggak pernah sama sekali nanyain kabar aku. Aku sempat datang ke kafe karena aku pikir kamu sibuk sampe nggak sempat balas pesanku. Tapi, beberapa hari mampir, kamu santai-santai aja di kafe baca buku di depan. I wonder... apa artinya aku buat kamu? Ternyata memang saat itu nggak penting sama sekali."

Sasti menggenggam tangan Banyu kencang. "No, kamu penting buat aku. Aku sengaja nunggu kamu di depan sambil baca buku, tapi kamu nggak pernah datang. Sampai Bina nanya, aku baru sadar kalau kamu memang nggak pernah datang lagi walaupun sudah pulang."

"Aku sempat ketemu Ali di depan Rinjani tapi nggak mampir. Dia tahu aku pernah datang kok."

"Dia nggak bilang apa-apa."

Banyu mengangkat bahu. "Aku yang minta dia nggak bilang ke kamu. So, are we good now? Sudah tenang ya, jangan nangis lagi. Aku nggak pernah nyalahin kamu, Sas."

"Tapi kamu maafin aku, kan?"

Banyu tersenyum tipis dan mengusap lutut Sasti. "Aku maafin kamu kalau itu bikin kamu tenang. Sudah ya, pokoknya jangan nangis lagi."

"Makasih dan maaf ya, aku malah jadi ngerepotin kamu lagi. Kamu malah sibuk nenangin aku. Aku nggak tahu kenapa jadi nangis lama banget kayak tadi."

Banyu tersenyum lagi.

Sasti membalas senyuman Banyu dengan tulus. "Kamu pulang selamanya? Nggak kerja di Kalimantan lagi?"

"Iya, tapi mungkin akan tetap ke sana. Balik lagi ambil job sana-sini biar nggak diomelin mama anak durhaka karena setahun nggak pernah pulang." Banyu melihat jam di tangannya. "Aku balik dulu ya, kayaknya kemaleman. Maaf ganggu kamu. Dan soal obrolan kamu sama Gea, apa pun itu, kamu nggak usah dengerin ya."

Sasti terlihat ragu tapi tetap mengangguk.

Banyu pun bangkit lalu siap pamit.

"Minggu depan, aku mau buka toko kue, Nyu. Kamu datang ya sama Gea," ucap Sasti dengan senyum yang tulus.

Banyu balik badan lagi menghadap Sasti. "Kamu mau aku datang?"

Sasti mengangguk. "Datang, ya. Ingat nggak kue yang aku bikin dulu dan kamu jadi testernya? Aku mau jual itu."

"Kalau gitu, aku pasti datang."

Sasti tersenyum lagi.

"Sebelum aku pergi, aku pengin bilang sesuatu. Aku kangen kamu, Sas."

***

diaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang