28. Say something

333 53 4
                                    




"Bulan ini, aku mau cek menu-menu kita ya, San. Kayaknya kalau nggak laku-laku amat perlu ganti menu. Kamu ada ide nggak?" Sasti menatap Insan bergantian sambil mengecek bahan makanan.

"Ada sih, Mbak. Nanti mungkin dicek dulu aja menu-menu sebelumnya, baru kita ganti, Mbak. Biar lebih variatif."

Sasti mengangguk. "Setuju. Kamu siapin dulu aja menu lain, nanti kita diskusiin akhir bulan ya."

Tiba-tiba, kepala Bina menyembul dari depan dan memberitahu bahwa Banyu sudah datang.

Sasti terkejut karena Banyu pulang sore. Ia pikir, Banyu baru akan tiba malam hari. Sasti ikut melongok sedikit dan ia bisa melihat pria itu sedang bicara dengan Ali. Ia langsung tersenyum kecil melihat kehadiran Banyu di sana.

Walaupun tidak mengabarinya, Sasti yakin Banyu akan datang hari itu. Jadi, ketika melihatnya, Sasti sangat senang. Banyu mengenakan kemeja berwarna hijau tua dan celana hitam. Agak terlalu rapi untuk seorang Banyu.

Sasti pun keluar dan menghampiri Banyu. "Kok sudah sampai sini lagi? Katanya pulang malam?"

Banyu menggeleng. "Iya, acaranya selesai lebih cepat, jadi bisa langsung ke sini."

"I see..."

Banyu kembali tersenyum. "Kamu mau pulang jam berapa, Sas? Sudah ada rencana makan malam?"

Sasti melirik jam tangannya yang menunjukkan angka 4. Ia bahkan belum memikirkan mengenai makan malam. Ia bahkan tidak memikirkan apa pun.

"Mau dinner bareng?"

"Aku harus belanja dulu, bahan makanan di rumah habis," jawab Sasti.

Banyu tampaknya tidak menduga jawaban Sasti. Pria itu mungkin berpikir untuk mengajak Sasti makan di restoran, bukan di rumahnya.

"Atau... mau makan di luar aja?" tambah Sasti buru-buru.

"Memangnya kalau makan di rumah kamu lagi nggak apa-apa?"

Keduanya kemudian terdiam, tapi akhirnya Sasti duluan yang buka suara.

"Nggak apa-apa kalau kamu nggak bosan sama masakanku."

"Aku nggak akan bosan, tapi aku juga nggak masalah kalau kita makan di luar."

Pada akhirnya, mereka ke rumah Sasti setelah belanja ke supermarket. Sasti lebih nyaman di rumahnya belakangan ini.

Setelah makan malam, mereka mengobro sebentarl di meja makan seperti kemarin. Namun, kali ini sudah jauh lebih santai dan tidak terlalu canggung. Banyu bahkan membantu Sasti mencuci piring dan merapikan meja makan. Setelah itu, keduanya duduk di sofa sambil menikmati kue pancong yang mereka beli di jalan pulang tadi.

Semua terasa begitu normal, Banyu tiba-tiba menggenggam tangan Sasti dan wanita itu tak menghindar sama sekali. Banyu tidak bisa menyembunyikan rasa gembiranya sama sekali.

"Kamu wanita pertama yang bikin aku kayak gini," ungkap Banyu tanpa ragu.

"Gini gimana?" Sasti mengernyit.

"Jatuh cinta setengah mati."

"Gimana rasanya?"

Banyu menatap Sasti bingung. "Sorry?"

"Gimana rasanya jatuh cinta?" Sasti mengulang pertanyaannya tanpa menatap Banyu.

"Bukannya kamu pernah jatuh cinta? Kamu dulu nikah karena cinta, kan?"

"Ya, tapi itu sudah lama banget. Aku kayak sudah lupa rasanya. Sama Rio, rasanya beda."

Banyu menggumam dan terlihat berpikir sebentar. "Aku nggak tahu jawaban kayak apa yang kamu cari. Aku juga sudah lama nggak jatuh cinta, tapi rasanya... aku happy dan berharap ketemu kamu setiap saat. Isi kepalaku cuma kamu. Kalau kamu tanya gimana rasanya jatuh cinta sama kamu... I feel frustrated. I really like you, tapi harus nahan diri supaya nggak terlalu kelihatan suka banget. Aku takut bikin kamu nggak nyaman."

diaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang