18. Bawa aja cookies-nya

305 45 1
                                    

Sasti menarik napas dalam sebelum keluar dari mobil menuju rumah mertuanya. Kemarin, kakak iparnya—Juna sempat datang ke Rinjani menemuinya. Juna memberi kabar bahwa Yulia—ibunya Juna dan Rio ingin bertemu. Sasti ingin langsung menemuinya kemarin, tapi ia telanjur janji makan malam dengan sang ayah. Akhirnya, ia berniat untuk menginap di rumah orang tua Rio jika diizinkan kembali.

"Sasti..."

Sasti tersenyum lalu menyalami mertuanya. "Ibu, apa kabar? Maaf ya aku baru sempat mampir."

"Nggak apa-apa, kamu pasti sibuk ya ngurus kafe sekarang. Gimana kabarmu? Pak Salim gimana kabarnya?"

Mereka berbasa-basi selama beberapa menit. Rumah ini masih sama seperti yang Sasti ingat dulu. Sebelum memiliki rumah sendiri, Sasti dan Rio bergantian tinggal di rumah orang tua mereka.

"Bu, maafin aku ya karena jarang ke sini."

Yulia tersenyum dan menggenggam tangan Sasti. "Nggak apa-apa, Sas. Ibu cuma kangen aja soalnya sudah lama nggak dengar kabarmu. Mas Juna ke kafe kamu, ya?"

Sasti merasa bersalah karena ia memang sudah jarang menghubungi Yulia belakangan ini. Saat Rio pergi, Yulia selalu mengecek keadaannya padahal saat itu ia tahu bahwa Yulia mengalami kesedihan yang sama dengannya—atau bahkan lebih menyakitkan lagi. Mereka akhirnya bergantian menghibur satu sama lain walaupu berat.

Sasti juga sempat tinggal beberapa minggu di rumah ini sebelum akhirnya tidak kuat dan tinggal dengan adiknya selama beberapa minggu.

"Bu, aku boleh nginap di kamarnya Mas Rio?"

Yulia tersenyum lebar. "Kamu mau nginap? Boleh. Kamu masih anaknya ibu, Sas."

Sasti berterima kasih karena sudah diizinkan untuk menginap walaupun hanya sehari. Ia sudah lama tidak ke kamar Rio. Seingatnya, Yulia tidak mengubah apa pun di sana.

Kehadiran Sasti cukup mengejutkan bagi keluarga Yulia, tapi mereka semua menerima kehadirannya. Sasti akhirnya bertemu dengan adik Rio—Rina yang sekarang sudah nyaris dewasa. Sasti merasa senang saat itu. Tak lupa, ia juga membantu memasak bersama Yulia.

"Sas, apa kamu nggak ada niat untuk menikah lagi?" tanya Yulia sembari melihat Sasti mengupas buah mangga saat mereka sudah selesai makan malam bersama. Mereka sedang di dapur menyiapkan camilan sebelum dibawa ke ruang tv tempat keluarga berkumpul.

"Ibu nggak apa-apa kalau aku menikah lagi?"

Ibu mengangguk lalu tersenyum. "Tentu aja. Kamu masih muda, Sas."

"Aku nggak mau menikah lagi, Bu."

"Sas, Mas Rio pasti mengerti. Kamu nggak usah pikirin Ibu atau Mas Rio lagi. Apa ini alasan kamu belum menikah lagi sampai hari ini?"

"Aku sayang sama Mas Rio, Bu."

"Ibu tahu, Sas. Tapi kamu juga harus tetap melanjutkan hidupmu. Sudah hampir enam tahun, Sas. Kamu bisa prioritaskan diri kamu. Lanjutkan hidupmu, Sas."

Sasti menoleh ke arah Yulia. Ia tidak tahu mengapa tiba-tiba Yulia mendorongnya untuk menikah lagi. "Ibu nggak habis ngobrol sama papaku, kan?"

Yulia tersenyum lalu menggeleng. "Kenapa? Kamu juga disuruh nikah sama papamu? Ya berarti pikiran kami sama, Sas. Kalau memang ada jodohnya lagi, menikahlah, Sas. Ibu, keluarga Mas Rio pasti dukung kamu."

Andai bisa semudah itu ia memutuskan untuk menikah.

***

Setelah libur sehari di rumah mertua, Sasti baru kembali ke rumah dan ke Rinjani lagi. Bermalam sehari di rumah mertua membuatnya makin merindukan kehadiran Rio. Semalaman itu, ia menangis dalam diam. Ia berharap bisa bertemu Rio dan membayangkan obrolan apa yang akan mereka miliki malam itu. Rasanya sudah lama ia tidak memikirkan itu lagi dan semalam membuat emosinya tidak stabil. Ia begitu merindukan Rio dan ia butuh pengalih perhatian.

diaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang