9. Terbenam

437 54 1
                                    

Banyu datang ke Rinjani setelah matahari terbenam. Suasana Rinjani saat itu terbilang cukup ramai. Sasti mendadak bingung mencari tempat untuk bicara secara tertutup dengan Banyu. 

"Wah, ramai banget, Sas," ucap Banyu sembari mengedarkan pandangannya. Ia kemudian menatap Sasti lagi yang berdiri di samping kasir. "Kita mau ngobrol di mana?"

Sasti buru-buru menghampiri Banyu sebelum pria itu makin bertanya macam-macam. Ia kemudian mengajak Banyu menjauhi kasir dan mencari tempat kosong. Nihil. 

"Sudah dinner, Sas? Mau ngobrol sekalian dinner?" Banyu memberikan sebuah solusi kala Sasti bingung mencari tempat ngobrol.

Sasti menoleh ke arah Banyu sembari memikirkan tawarannya. Bukan ide yang buruk. Ia pun setuju dan minta izin untuk mengambil tasnya dulu. Banyu menunggunya di luar. 

Sasti kembali ke ruangan. Sebelum pergi, ia berdiri di depan fotonya dengan Rio lalu menarik napas dalam. Rio pasti akan mengerti.

Sasti pamit pada karyawannya dan berpesan untuk menutup kafe seperti biasa. Tampaknya ia akan langsung pulang malam ini. 

Banyu menunggunya di luar dan tersenyum ketika Sasti menghampiri. "Mau makan di mana, Sas?"

"Yang dekat aja, ya. Kamu bawa kendaraan?"

"Aku bawa motor."

"Oh, kita ketemu di lokasi aja, ya."

Banyu setuju. 

***

"Jadi, ada apa, Sas?"

"Kamu masih berniat menikah pura-pura sama aku?"

Banyu kembali menegakkan duduknya. "Kamu berubah pikiran, Sas?"

Sasti memainkan cangkirnya. "Aku benar-benar desperate, Nyu."

"Sas, aku mau aja sih bantu, tapi aku sudah nggak pengin pura-pura nikah."

"Kamu berubah pikiran?" Sasti sangat terkejut mendengar jawaban Banyu yang berubah 100% dari terakhir mereka bertemu. Ia pun menatap Banyu dengan raut yang amat bingung. “Secepat itu?”

Banyu mengangguk. "Kalau dipikir-pikir, solusi dari masalahku bukan nikah. Orang tuaku nggak akan berhenti ngelarang aku kerja jauh hanya karena aku nikah. Aku juga sudah memutuskan untuk nggak tinggal sama orang tua lagi. So, I am free.”

"Jadi, nggak bisa ya?" Sasti tidak pernah kepikiran sama sekali bahwa Banyu sudah berubah pikiran secepat ini. Kalau begini, Sasti benar-benar tidak punya calon suami pura-pura lagi. Ia sudah kehilangan harapan satu-satunya.

“Maaf, ya, Sas.”

Sasti diam sesaat untuk berpikir. Ia benar-benar harus mencari kandidat lain.

"Seperti yang kamu bilang dulu, ada kemungkinan orang tuaku agak sulit menerima kamu. Aku harus kelihatan jatuh cinta banget sama kamu supaya lebih meyakinkan dan bisa memperjuangkan ‘kita’. Itu mudah buatku tapi… apa kamu bisa kelihatan jatuh cinta sama aku?”

"Aku bisa."

Banyu tersenyum lalu menggeleng. Ia melirik cincin yang melingkar di jari manis Sasti sekilas. “Kalau memang harus nikah lagi, kenapa nggak cari pasangan serius aja? Nggak ada ruginya kan nikah lagi? Coba buka hati dulu.”

Sasti menyadari lirikan Banyu. Ia pun menutupi jemari tangannya dengan gelisah. 

“Aku mau bantu kamu.”

“Tapi kamu nggak mau pura-pura nikah, Nyu.”

Banyu mengangguk. “True. Kita bisa cari cara lain supaya kamu bisa tetap dapat Rinjani tanpa menikah secara terpaksa.”

Sasti mengernyit. Ia tidak tahu apa maksud Banyu dengan membantunya. 

“Aku juga belum tahu apa, tapi aku pengin bantu kamu sebelum kamu jatuh ke dalam masalah yang pelik karena nikah dengan orang sembarangan.”

“Kamu mau bantu cari pria yang mau nikah sama aku?”

Banyu menolak dengan kuat. “Hell, no.”

“Loh? Terus kamu ngapain kalau nggak mau bantu cari calon suami buatku?” Sasti makin heran dan tidak mengerti isi kepala Banyu. 

“Aku akan pikirin cara lain, Sas. Sekarang, kita pesan makan dulu aja. Gimana? Aku lapar.” Banyu langsung memanggil waiters lagi agar mereka bisa memesan makanan berat.

Sasti tidak keberatan untuk makan malam dulu. Ia pun belum makan malam. 

Rencana Sasti untuk mengajak Banyu menikah mungkin gagal. Namun, sepertinya tidak 100% gagal karena ia berhasil membuat Banyu bersedia membantunya. Walaupun belum tahu dengan apa, tapi semoga Banyu benar-benar bisa membantunya. 

“Selain aku, kamu sudah nemuin berapa cowok, Sas?” Banyu bertanya lagi setelah mereka selesai memesan dan menunggu makanan dihidangkan.

Sasti berpikir sebentar sebelum menjawab. Ia tidak begitu yakin dengan jumlahnya karena ada beberapa calon yang tidak berakhir di pertemuan. “Mungkin 2-3 orang. Nggak banyak yang mau nikah bohongan tanpa syarat apa pun.”

“Dan dari itu semua nggak ada yang cocok sama kamu?”

Sasti menggeleng kuat. “Nggak ada. Ada yang minta aku ikut pindah, bahkan punya anak biar pernikahan ini meyakinkan.”

“I see. Jadi nggak ada bedanya dengan nikah beneran, ya.”

“Ya, kalau aku memang mau nikah lagi, aku nggak akan capek-capek nyari calon suami bohongan.”

“Lalu kalau seandainya kamu nggak nemu gimana? Kamu bakal relain Rinjani? ” 

“Mungkin. Rinjani itu alasan aku masih hidup sampai hari ini. Aku nggak tahu hidupku jadi apa kalau nggak ada Rinjani. Tapi aku sudah mikirin kemungkinan terburuk harus relain Rinjani. Aku pasrah. Kalau memang harus lepasin Rinjani… ya mau gimana lagi, tapi aku mungkin akan coba ide Irin untuk pura-pura pacaran.”

Banyu tersenyum dan mendadak bersemangat. “Pacaran? Oh, kalau pacaran juga harus ada usia minimumnya?”

Sasti belum memikirkan rencana itu dengan matang. Ia awalnya masih berharap kalau Banyu mau menikah saja. 

“Kalau pacaran aja, aku bisa bantu, Sas. Kalau nikahnya, nanti nunggu kamu buka hati aja.”

“Hah?” Sasti agak terkejut melihat respons Banyu yang terlihat menggebu. Walaupun kalimat terakhir Banyu membuat Sasti mengernyit, tapi ucapan Banyu di awal membuatnya berpikir bahwa mencari pacar pura-pura mungkin tidak akan terlalu susah. Toh Banyu dengan mudah mau-mau saja.

Banyu tersenyum. “Sas, aku bersedia jadi ‘pacar’ kamu kalau usia bukan sebuah masalah. Kamu bisa pakai namaku supaya orang tua kamu percaya kalau kamu punya pacar.”

“Really?” Sasti tetap menatap Banyu tidak yakin.

Banyu mengangguk kuat. "Iya, I have nothing to lose, Sas. Tahun depan kan aku mulai ikut ekspedisi keliling Indonesia, nah aku juga perlu melakukan persiapan buat ke sana.  Aku juga masih ada kerjaan ke beberapa kota. Aku nggak bakal sering di sini.”

“Apa nggak apa-apa, Nyu?” Sasti menanyakan itu bukan hanya pada Banyu, tapi juga pada dirinya sendiri. Apakah berpura-pura berpacaran dengan Banyu akan membantunya mendapatkan Rinjani? 

Banyu mengangguk sambil tersenyum. "Iya, itu bukan ide yang buruk, Sas."

Sasti tidak yakin kalau ini akan membuat Salim menyerahkan Rinjani padanya. Namun, ini memang patut dicoba. Seperti kata Banyu, Sasti juga tidak merugi kalau hanya berpura-pura pacarana. “Aku akan coba bilang sama orang tuaku kalau aku pacaran. Kita lihat reaksinya dulu. Kalau memang menurutku itu cukup, aku nggak perlu nikah lagi.”

“Ya, great. Bilang aja kalau kamu butuh bantuan ya. Selama aku di sini, aku siap bantu kamu,” ucap Banyu dengan nada yang tulus.

Sasti ikut mengangguk dan tersenyum tipis. “Thanks, ya, Nyu.”

 “Sama-sama, Sasti.” Banyu pun tersenyum.

***

diaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang