33. N

250 55 2
                                    


Sasti berusaha keras untuk terlihat baik-baik saja dan tidak terdampak kemunculan Banyu kemarin malam. Namun, ia gagal. Sudah dua hari ia tidak bisa tidur nyenyak. Ia terbayang raut wajah Banyu yang tampak tersakiti olehnya. Apakah Sasti telah mematahkan hati Banyu? Apakah Sasti begitu jahat?

Namun, bukan hanya Banyu yang menderita, Sasti pun merasa kehilangan. Ketika Sasti melihat gantungan baju di dekat pintu kamar, ia tersadar kalau masih ada jaket Banyu yang tertinggal. Ketika melihat lemari pakaian pun masih ada beberapa baju Banyu yang mungkin tertinggal di cucian Sasti dari waktu terakhir Banyu datang. Sasti menimbang-nimbang apakah ia perlu mengemasi barang-barang itu dan mengembalikannya pada Banyu.

Sasti bahkan tiba-tiba teringat momen ketika terakhir kali Banyu bermalam. Saat itulah kata-kata sakti dari mulut Banyu meluncur terus-menerus dan membuatnya terdiam. Sasti tidak membalas saat itu, tidak juga membalasnya sampai hari ini.

Sasti tidak bisa membela diri atas perlakuannya pada Banyu karena ia memang salah. Ia menyakiti Banyu dan ia harus meminta maaf.

Sasti pun mengumpulkan keberanian untuk mengirim pesan pada Banyu. Namun, baru beberapa kata ia ketik, malah ia hapus lagi. Begitu saja seterusnya sampai akhirnya Sasti tidak jadi mengirim pesan. Ia juga sempat melihat tanda typing di bawah nama Banyu, tapi pada akhirnya ia tidak menerima pesan apa-apa.

Tampaknya, Banyu tidak akan menghubunginya. Jadi, Sasti memutuskan untuk menghubungi Irin saja. Biar Irin yang menjadi jembatan antar mereka.

Sasti: Rin, nanti aku mampir ke rumah kamu, ya? Mau titip barang-barangnya Banyu, minta tolong Rifky kasih tau Banyu untuk ambil di rumah kamu. Boleh?

Irin membalas secepat kilat.

Irin: Boleh, Beb. Nanti aku bilang ke Rifky. Kamu ke sini aja, mau aku siapin apa nih? Pancake dengan eskrim strawberry oke? Aku juga baru beli es krim banyak rasa nih nanti tinggal pilih aja

Sasti: Iya, boleh. Thanks Rin

Irin: ur welcome beb. Kabarin ya kalau udah deket

Sasti sudah menduga bahwa Irin sudah tahu apa yang terjadi padanya. Irin selalu menemaninya dengan es krim ketika Sasti sedang tidak baik-baik saja.

Sasti memasukkan barang-barang Banyu ke dalam goodie bag. Ia juga ikut memasukkan kemeja terakhir milik Banyu ada di lemarinya. Sasti tidak ingin mengakui, tapi Banyu memang sering sengaja meninggalkan barang-barang di rumahnya ketika bermalam. Mungkin itu taktiknya supaya bisa terus mampir dan pada saat itu Sasti memang tidak pernah keberatan.

Irin menyambutnya dengan tangan terbuka. Wanita itu sudah siap melebarkan tangan untuk memeluk dan Sasti pun menghambur begitu saja. Irin tidak langsung bertanya dan mengajak Sasti ke teras belakang untuk mengobrol sekalian mengawasi anak Irin yang sedang bermain.

Sasti pun tergoda untuk melahap pancake yang disiapkan Irin dengan tenang. Pikirannya bercabang antara senang melihat anaknya Irin dan juga membayangkan dirinya memiliki kehidupan sempurna seperti Irin. Semua bisa terjadi andai saja ia tidak membiarkan Rio pergi menemui temannya di Semarang waktu itu. Perasaan Sasti sudah tidak enak, tapi Rio tetap bersikukuh pergi hingga akhirnya terjadi kecelakaan naas itu.

"Arin lagi suka banget berenang. Masa tiap hari minta berenang atau main air? Masalahnya dia tuh sudah mulai pilek. Susah banget dilarang kayak bapaknya," ujar Irin membuka pembicaraan.

Sasti menoleh lalu tersenyum pada Irin. "Ya anak umur segitu maklum lagi lucu-lucunya senang eksplor."

"Dia yang senang, ibundanya jantungan," balas Irin. Sasti hanya menanggapi dengan senyum lalu kembali melihat ke arah anaknya Irin. Irin pun akhirnya berani untuk bertanya, "Kamu sudah baik-baik aja kan, Sas?"

diaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang