15. Tea

303 39 0
                                    

Irin menyesap teh yang baru disajikan di meja. Hari ini ia datang sendiri saat anak-anak masih di sekolah. Ia datang untuk mengobrol dengan Sasti soal Banyu. Ini adalah waktu pengganti karena saat mereka di rumah Irin kemarin tidak sempat ngobrol. Irin lebih asyik mengobrol langsung daripada lewat telepon. 

“Jadi, kamu akhirnya pura-pura pacaran sama Banyu?”

Sasti menyuruh Irin agar memelankan suara sedikit supaya tidak menimbulkan perhatian. “Aku bukannya sudah cerita, ya, Rin?”

“Oh, iya sudah, tapi cuma mastiin lagi aja, Sas. Dia cerita kalian ke makam Rio juga. Nah itu kamu belum cerita, Sas. Ngapain?”

“Oh, itu. Ziarah biasa. Aku nggak bisa ngelarang pas Banyu mau ikut. Jadi, yaudah deh.”

Irin tersenyum penuh arti. “Banyu berani juga ya. Terus habis itu kalian belanja bareng?”

“Iya, jangan mikir aneh-aneh, Rin.”

“Nggak aneh-aneh kok, Sas,” sahut Irin sambil tersenyum lagi. “Sebelum kamu datang, Banyu langsung nanya kamu di mana. Dia kelihatan kecewa pas aku bilang kamu belum datang. Tumben pula dia datang lebih awal, ternyata memang mau ketemu kamu. Katanya sudah janji nggak ke Rinjani jadi nggak bisa ketemu kamu. Kamu ngelarang dia ke Rinjani?”

“Nggak pernah, Rin. Dia yang bilang katanya memang nggak bisa mampir kok. Banyu nih ada-ada aja deh. Masa bisa beda-beda gitu omongannya ke aku dan ke kamu?”

Irin langsung menenangkan Sasti. “Chill. Mungkin aku yang salah tangkap, Sas. Terus setelah kamu pulang, dia ngobrol lagi sama Rifky. Pas aku tanya ke Rifky, katanya mereka ngobrolin kamu terus–ah lupa yang ini rahasia. Intinya, Banyu naksir kamu. Kali ini real, bukan asumsi kayak dulu.”

Sasti tidak terlalu terkejut mengetahui itu. Beberapa kali terakhir saat bertemu Banyu, ia sudah merasakan bahwa perhatian Banyu memang agak beda padanya. Hanya saja, Sasti denial dan berharap itu hanya fase. 

“Kamu gimana, Sas? Suka nggak sama Banyu?”

Jika ditanya seperti itu, jujur saja, Sasti belum punya perasaan apa pun pada Banyu. Ia menganggap Banyu sebagai teman sebagaimana ia menganggap Rifky. Dan relasinya terhadap Rifky juga tidak lebih dekat daripada hubungannya dengan Irin. 

“Banyu baik kan sama kamu? Nggak macam-macam?”

“Banyu baik kok, tapi aku nggak ada perasaan apa-apa ke dia, Rin. Aku nganggep dia teman aja.”

Irin tampak kecewa sedikit tapi kemudian ia tersenyum lagi. “Ya sudah nggak apa-apa. Omong-omong soal ke rumah kamu, Banyu baru pulang lusa, tapi dia baru free pas weekend. Gimana?”

“Weekend ini?”

Irin mengangguk. “Kalau kamu ada acara atau harus ke rumah Pak Salim, nanti biar aku bilang ke Banyu buat cari tanggal lagi.”

Sasti tidak ada rencana di pekan ini, jadi sebenarnya tidak ada masalah. 

“Sabtu ini, ya. Aku perlu bawa apa? Es buah mau?”

“Asinan aja boleh? Aku sudah pesan es kelapa muda buat nanti.”

Irin tersenyum ceria lalu menyanggupi permintaan Sasti. Ia ikut senang karena akhirnya Sasti open house lagi setelah sekian lama.

***

Sasti sedang menyiapkan perkedel kentang di meja ketika Rifky tertawa dan mengatakan bahwa Banyu nyasar. Irin langsung memarahi Rifky dan menyuruhnya memberikan alamat yang benar. 

“Sudah shareloc. Dia salah belok,” sahut Rifky.

“Tante, aku boleh minta esnya nggak?” tanya Kila.

diaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang