11. Heart Attack

406 51 0
                                    

"Nyu, ingat ya, kita sudah kenal agak lama, tapi baru pacaran

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Nyu, ingat ya, kita sudah kenal agak lama, tapi baru pacaran. Kalau kamu bingung jawab pertanyaan Papa, cukup senyum aja," ucap Sasti untuk yang terakhir kali sebelum mereka keluar dari mobil.

"Iya, Mbak Sasti," balas Banyu dengan senyum yang terlampau manis. Ia sudah siap dengan apa pun yang akan terjadi, tapi tampaknya Sasti masih mencemaskan banyak hal.

"Jangan panggil kayak gitu di depan Papaku, ya. Kamu harus kelihatan lebih dewasa," tegur Sasti.

"Aku bercanda lho, Sas. Kamu santai aja, jangan terlalu nervous gitu. Aku bisa handle keluarga kamu. Tenang aja."

Sasti tidak bisa berhenti cemas begitu saja. Ia sedikit cemas dengan pandangan orang tua terhadap Banyu. Walaupun hanya berpura-pura, tapi Sasti tidak bisa mengabaikan pendapat sang ayah.

Setelah memastikan semua rencana dengan baik, Sasti dan Banyu langsung masuk ke rumah menemui Salim yang sudah menunggu.

Banyu mengucapkan salam dengan tenang dan ramah lalu mengenalkan diri. "Saya Banyu, Pak. Teman dekatnya Sasti."

Salim menjawab sapaan Banyu sambil tersenyum tipis. Sangat tipis hingga nyaris tak terlihat sebagai senyuman.

Agenda hari ini memang hanya mengenalkan Banyu sebagai pacarnya Sasti.

Sasti meninggalkan Banyu dan Salim untuk bicara berdua. Ia ingin sekali ikut tapi dilarang oleh sang ayah. Maka dari itu, Sasti hanya berdiri di balik tembok mencoba menguping pembicaraan mereka. Ia berusaha mendengarkan pembicaraan ayahnya dan Banyu sebisa mungkin.

***

"Kamu kenal Sasti dari mana? Sudah lama pacarannya?" tanya Salim to the point.

Banyu tersenyum. "Kami kenal karena temannya Sasti, Pak. Irin. Kebetulan suaminya Irin itu teman saya, terus saya minta dikenalin ke Sasti. Belum ada dua bulan, Pak, tapi kalau kenal sudah lumayan lama. Sasti agak susah didekati, Pak."

Salim mengangguk-angguk seakan setuju dengan jawaban Banyu. Ia kemudian berdehem sebelum bertanya lagi. "Kamu pacaran beneran sama Sasti? Apa niat kamu pacaran sama Sasti? Kamu tahu status Sasti yang sudah pernah menikah?"

"Saya sih penginnya serius, tapi untuk sampai ke sana saya harus benar-benar meyakinkan Sasti dulu."

Salim menghela napas panjang. "Saya tahu meyakinkan Sasti bukan hal yang mudah. Saya sebenarnya nggak mau terlalu maksa Sasti untuk menikah lagi, tapi kalau nggak begitu, dia seumur hidup akan tinggal sendirian aja. Saya nggak sanggup mikirin Sasti sendirian di dunia ini."

"Sasti nggak akan pernah sendirian lagi, Pak. Saya akan jaga Sasti sebaik-baiknya."

"Sebaiknya begitu. Kalau kamu beneran cinta sama Sasti, tolong jangan sakiti dia, ya."

Banyu mengangguk kuat dan berjanji kalau ia tidak akan menyakiti Sasti karena ia menyayanginya.

Tepat setelah ucapan itu, Sasti muncul dan menghampiri mereka berdua. Ia mengajak kedua orang itu untuk makan siang dulu.

***

Begitu Banyu masuk mobil, Sasti langsung menegur atas perkataannya saat bicara dengan Salim.

"Apa-apaan sih, Nyu? Kamu kenapa berlebihan banget sampai bilang sayang dan cinta segala?" Sasti menatap Banyu tajam.

Banyu yang hendak memasang seatbelt pun terkejut dan langsung menoleh ke arah Sasti. "Kamu dengar?"

"Iya, aku dengar semua. Kamu terlalu berlebihan tebar janji, Nyu."

Banyu akhirnya berhasil memasang seatbelt sebelum menjelaskan kekhawatiran Sasti. "Kamu tenang dulu, Sas. Kalau nggak kayak gitu, Pak Salim nggak bakal percaya. Dia berulang kali nanya apakah aku beneran pacar kamu atau bukan."

Sasti menghirup udara dari hidung mencoba bernapas lebih teratur dan tenang.

"Sambil jalan, ya? Nanti Papa kamu curiga kalau kita nggak jalan-jalan," ucap Banyu sambil menyalakan mesin mobil. Tidak lama kemudian, ia membawa mobil tersebut keluar dari perumahan tempat tinggal Sasti menuju titik awal pertemuan mereka yaitu Rinjani. Ia menoleh sesekali untuk melihat ekspresi Sasti.

"Papa masih berharap aku nikah lagi, ya, Nyu?" Sasti tiba-tiba bertanya lagi dengan suara pelan.

"Beliau khawatir kamu hidup sendirian sampai tua, Sas. Takut kamu nggak ada yang jagain."

"Aku bisa jaga diriku sendiri, Nyu. Aku nggak harus nikah lagi kan untuk bisa hidup nyaman?"

Banyu tidak menyahut karena ia tidak bisa menjawab pertanyaan itu untuk Sasti.

Perjalanan menuju Rinjani terasa sunyi karena keduanya hanya diam. Sasti sibuk dengan pikirannya sendiri dan Banyu sibuk melihat langit saat mereka terjebak macet. Saat tiba-tiba hujan, Banyu langsung mengerang kecewa hingga membuat Sasti terkejut.

"Kamu ada janji lagi?"

"Ya, rencananya mau lari hari ini. Sejak kemarin hujan terus jadi nggak bisa lari," sahut Banyu dengan penuh rasa kecewa. Sudah masuk musim hujan memang agak sulit mengatur waktu olahraga.

"Kenapa nggak diganti jadi pagi aja olahraganya?"

"Kesiangan terus, tapi besok dicoba deh ganti pagi."

"Kapan kamu berangkat?"

"Dua minggu lagi ke Gunung Rinjani. Sama ya kayak nama kafe kamu?" Banyu tersenyum lagi ketika menyebut nama Rinjani. "Btw, nama Rinjani terinspirasi dari nama gunung?"

Sasti diam sesaat sebelum menggeleng. "Dulu nama toko papa itu Rinjani, aku cuma nerusin. Rinjani itu nama mamaku."

"Maaf, aku nggak tahu, Sas."

"Nggak perlu minta maaf. Kamu sudah pernah ke Rinjani—gunung, kan?"

Banyu mengangguk. "Iya, dulu, sama Rifky. Kamu mau Sas kalau kapan-kapan aku ajak ke Gunung Rinjani?"

"Ngapain? Aku nggak pernah mendaki gunung, Nyu."

"Jalan-jalan, Sas. Iya, nggak apa-apa kalau belum pernah, tapi kamu mau nggak?"

Sasti diam lagi. Ia tidak tahu apakah dirinya akan kuat mendaki gunung karena sebelumnya memang tidak pernah.

"Ya sudah, mikir dulu aja. Aku pengin sih ajak kamu ke tempat-tempat keren di Indonesia. Kalau kamu nggak suka gunung, aku juga punya daftar pantai yang keren," ucap Banyu seraya tersenyum dan menyiratkan janji untuk membawa Sasti jalan-jalan. "Kalau kamu mau, aku siap jadi private guide. Ke mana pun, aku siap."

Sasti lagi-lagi kebingungan bagaimana harus menjawab ucapan Banyu yang begitu banyak menawarkan hal baru untuknya. Walaupun ada beberapa hal yang menurut Sasti berlebihan, tapi ia bisa merasakan ketulusan Banyu.

***

diaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang