6. Rinjani

564 60 0
                                    


"Sastinya ada?"

Sasti mendengar sebuah suara menyebut namanya. Ia yang ada di balik kitchen pun langsung menyembulkan kepala.

Sasti agak terkejut ketika tahu bahwa Banyu mencarinya. Ia membiarkan Banyu berbicara dengan karyawannya sebelum dirinya berniat keluar.

Suasana kafe pagi ini memang masih sepi karena mereka baru buka beberapa sejam yang lalu. Sasti saja masih jalan-jalan mengecek dapur dan lain-lain.

"Oh. You're here!" seru Banyu sambil tersenyum lebar ketika melihat Sasti berjalan menuju tempatnya berdiri. Kasir.

"Pagi, Banyu," sapa Sasti dengan ramah. Ia kemudian menanyakan tujuan Banyu mampir pagi-pagi sekali dan mencarinya.

Banyu kemudian mengisyaratkan agar mereka bicara berdua saja. Ia memang tersenyum tapi tampaknya pembicaraan mereka akan serius.

Sasti pun mengajak Banyu duduk di salah satu meja kosong yang agak jauh dari kasir dan pandangan karyawannya. Untung saja masih sepi jadi mereka bebas duduk di mana pun.

Namun, sebelum bicara lebih serius, Sasti menawarkan kopi pada Banyu. Pria itu hanya mengangguk lalu Sasti meminta tolong pegawainya untuk membuatkan kopi tanpa gula untuk tamunya.

Sasti dan Banyu duduk di meja dekat jendela besar yang mengarah ke luar. Banyu duduk dengan santai sambil bersandar sementara Sasti duduk tegap sambil menyilangkan kaki.

"Soal obrolan kita beberapa hari lalu, kamu sudah punya jawaban lain, Sas?"

"Tentang apa, ya?" Sasti bertanya balik karena ia tidak tahu apa maksud Banyu.

"Soal pernikahan, Sas. Atau kalau memang nggak bisa nikah, ya berteman juga nggak apa-apa. Kalau berteman nggak perlu batas usia minimum, kan?"

Oh. Tekadnya sudah bulat bahwa ia tidak bisa menikah dengan Banyu. Dan soal berteman... Sasti bahkan tidak pernah memikirkan itu. "I guess so."

"Jadi boleh temenan?"

"I guess... it's okay selama kamu nggak ada niatan lain."

Banyu akhirnya terlihat lega dan lebih santai. Ia tersenyum pada Sasti. "Okay, finally. Berteman juga nggak masalah. Thanks ya, Sas. Lega jadinya."

Sasti mengangguk menerima ucapan Banyu. Ia tidak mengerti mengapa Banyu benar-benar terlihat lega mendengar jawabannya. Apakah Banyu benar-benar seniat itu ingin berteman dengannya?

Banyu tersenyum lagi. Ia akhirnya menyatakan alasan sebenarnya datang menemui Sasti hari ini. "Aku mau ke Lampung sebulan, kamu mau dibawain oleh-oleh?"

Ternyata ucapan Irin benar. Banyu memang ingin berpamitan padanya. Ia pun memutuskan untuk berpura-pura bertanya basa-basi. "Kerja?"

Banyu mengangguk sembari tersenyum dan menawarkan beberapa oleh-oleh khas Lampung.

"Nggak usah repot-repot, Nyu."

Banyu mengibaskan tangannya. "Nggak repot. Gampang, nanti kubawain oleh-oleh buat kamu dan karyawanmu."

Sasti tidak lagi menolak. Ia tahu tampaknya tidak akan menang kalau berdebat dengan Banyu.

Banyu melihat jam tangannya lalu mendadak bersiap-siap. "Aku harus pergi dulu. Takut ditungguin rekan-rekan yang lain."

Sasti ikut berdiri ketika Banyu berdiri dan pamit. Ia tidak sampai mengantar Banyu ke pintu keluar. Sasti hanya menatap punggungnya yang menjauh. "Hati-hati, Nyu."

Banyu menoleh lagi ketika mendengar suara Sasti. Ia pun tersenyum. "Thanks, Sas."

Sasti hanya mengangguk seiring dengan kepergian Banyu. Ia kemudian membereskan meja dan membawa cangkir Banyu. Ketika Sasti balik badan, ia melihat Bina dan Ali sedang tersenyum menggodanya.

Sasti tidak menduga bahwa kedatangan Banyu yang kedua kali akan menimbulkan kecurigaan dari para karyawan. Mereka jelas ingin menggoda Sasti yang didatangi seorang pria muda. Ini memang sebuah peristiwa langka di Rinjani.

***

Sasti tiba di rumah orang tuanya pagi-pagi sekali supaya ia bisa membantu memasak makan siang. Dea tadi mengabari bahwa dirinya sedang di jalan. Sebelumnya, Dea mengatakan bahwa ia akan datang dengan pacarnya. Sasti agak kaget karena Dea ternyata sudah berani mengenalkan calonnya. Ia jadi makin penasaran bertemu dengan calon adik iparnya.

Ketika Mbok Yani memberitahu Sasti bahwa Dea sudah datang, ia bergegas keluar dan menyambut adik bungsunya. Ia sempat mencari-cari keberadaan wanita di belakang Dea tapi nihil. Dea datang sendirian. Sasti langsung bertanya mengapa Dea datang sendirian.

"Nggak jadi, Mbak. Kayaknya bukan waktu yang tepat. Papa katanya mau ngomong serius. Masih mau ngomongin soal warisan, Mbak."

Sasti tidak diberitahu oleh ayah. Ia tidak tahu apa yang akan dibicarakan ayahnya. Ternyata memang pasti ada udang di balik batu.

Mereka makan siang seperti biasa, lalu setelahnya berkumpul di ruang keluarga. Sasti merasa sedikit tegang karena sejak makan siang tadi, ia sepertinya sudah tahu apa yang ingin dibicarakan sang ayah. Semua berpusat pada dirinya.

"Dea, kamu nggak bisa kasih Rinjani ke kakakmu."

Sasti dan Dea amat terkejut mendengar ucapan ayah mereka. Sasti mendadak sedih karena sadar bahwa ia sudah pasti akan kehilangan Rinjani.

"Pa, Rinjani itu punyanya Mbak Sasti. Aku sama sekali nggak tertarik sama tempat itu. Biarlah Mbak Sasti aja yang ngurusin," ucap Dea tanpa ragu. Ia melirik kakaknya. "Dari awal, aku nggak ada niat untuk ngurusin Rinjani, Mbak. It's yours. Always yours."

"Pa, dengar sendiri, kan? Dea nggak mau Rinjani." Sasti ikut memohon pada sang ayah agar mengganti persyaratan menikah menjadi hal yang lebih realistis lagi.

"Kalau Dea memang nggak mau, Papa sudah minta om kalian untuk bantu jual," jelas ayah sambil memandang si sulung dan si bungsu bergantian. Ia lalu menatap Sasti agak lama sambil mengatakan, "Papa akan kasih Rinjani ke kamu tanpa ragu kalau kamu menikah, Sas."

Sasti terlalu terkejut mendengar itu sampai ia tidak bisa bereaksi. Sang ayah akan menjual Rinjani. Ini tidak bisa dibiarkan. Sasti mendadak makin lemas dan tidak punya harapan lagi.

"Papa nggak lihat itu semua usahanya Mbak Sasti? Mbak Sasti yang ajuin pinjeman ke bank, Mbak Sasti yang usaha, Pa. Mbak Sasti yang mati-matian bikin Rinjani hidup lagi setelah nyaris bangkrut. Kenapa dipersulit, sih?" Suara Dea pun terdengar keras.

Sasti menoleh ketika mendengar suara Dea yang membelanya.

"Papa nggak bisa maksa Mbak Sasti nikah lagi kalau memang Mbak belum siap," tambah Dea dengan berapi-api. Ia kemudian menghela napas panjang. "Apa Papa sudah tanya pendapat Mbak Sasti soal menikah lagi?"

"Ya Sasti harus menikah lagi. Apa pun yang terjadi."

Dea menoleh ke arah Sasti sambil menghela napas. "Mbak Sasti sudah siap menikah lagi?"

Sasti menggeleng. "Aku nggak ada keinginan untuk nikah lagi."

Ayah mereka tampak cukup terkejut. "Sas..."

Dea menatap sang ayah. "Apa Papa tetap mau maksa Mbak Sasti nikah lagi supaya bisa dapat Rinjani? Apa Papa tetap nggak bolehin aku nikah sebelum Mbak Sasti nikah lagi?"

Ayah mereka diam.

"Aku nggak apa-apa harus nikah setelah Mbak Sasti kalau memang Mbak pengin nikah, tapi kalau nggak gimana? Aku nggak boleh nikah dong? Papa harus ingat kalau anak Papa tuh bukan cuma Mbak Sasti."

Apa yang dikatakan Dea memang ada benarnya. Sasti mengerti ucapan Dea dan ia pun merasa tidak enak pada sang adik karena ia seakan menghalangi jalan adiknya tanpa sengaja. Sejak ditinggal Rio, Sasti memang selalu menjadi pusat perhatian orang tuanya.

"Baiklah. Kamu boleh nikah duluan kalau memang sudah siap, Dea. Tapi soal Rinjani, Papa harap Sasti bisa memenuhi persyaratan Papa," ucap sang ayah pada akhirnya sembari menatap kedua anaknya bergantian.

Tampaknya Sasti memang tidak punya jalan lain selain menikah lagi jika ingin mendapatkan Rinjani. Ini hal yang benar-benar berat dan tidak yakin bisa ia penuhi dengan sukacita.

***

diaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang