12. Nyaris Rindu

392 51 0
                                    

Banyu akan berangkat menuju NTB sebentar lagi. Walaupun orang tua Banyu sering protes mengenai pekerjaannya, tapi Banyu tetap selalu pamitan meminta doa restu. Termasuk hari ini. Banyu sengaja datang ke rumah orang tuanya.

"Ma, masak apa hari ini?"

Ina—Mama Banyu langsung mengajak anak bungsunya makan siang dengan gembira. Sembari makan, mereka mengobrol soal jodoh.

"Kamu lagi libur? Mama mau ngenalin kamu sama anaknya teman mama yang baru lulus kuliah di Depok. Anaknya cantik, pintar, siap menikah."

Banyu tidak menyahut hanya serius makan, Ina pun menegurnya. "Aku sibuk, Ma.”

"Sibuk apaan sih? Siang-siang gini aja kamu ke sini. Sibuk apa? Ya sudah, sore ini aja ya kita ke rumahnya teman Mama."

Banyu tiba-tiba teringat Sasti. “Oh, ya aku sudah punya pacar.”

“Pacar? Pacar dari mana? Jangan bohong sama orang tua. Dosa, Nyu.”

“Beneran, Ma. Masa sama anak sendiri nggak percaya. Lagian, aku ke sini bukan minta dicariin calon istri. Aku mau pamit ke Rinjani.”

“Di mana lagi itu? Jauh? Naik apa ke sana?”

“Dekat kok, Ma. Naik pesawat dua jam aja,” jawab Banyu tanpa menyebutkan durasi perjalanan sebenarnya yang harus ia tempuh. Ia tidak perlu membuat orang tuanya khawatir. Walaupun ia sudah dewasa, tapi orang tua tidak akan pernah berhenti mengkhawatirkan anaknya.

Ina cemberut karena tidak menginginkan Banyu pergi. Namun, mencegah Banyu pergi adalah hal yang sia-sia. Jadi, ia akhirnya hanya mendoakan supaya Banyu selamat sampai tujuan dan kembali lagi ke rumah dengan sehat. 

“Habis pulang dari Rinjani, janji ya ketemu sama anaknya teman Mama?”

“Loh, aku kan tadi bilang kalau aku sudah punya pacar, Ma. Namanya Sasti.” Banyu kemudian menceritakan sedikit tentang Sasti dan latar belakangnya. Reaksi Ina bisa dikatakan kurang bagus, tapi Banyu tetap berusaha untuk mengubah itu semua. 

"Nyu, mama kurang sreg ah. Kamu nggak bisa cari pacar lain?" Ina tampak tidak setuju dengan kehadiran Sasti. Apalagi kalau bukan karena status janda yang disandangnya.

“Banyu maunya cuma sama Sasti, Ma."

"Nyu, Mama malu dong kalau punya menantu janda. Kamu ini masih muda lho, Nyu. Masih banyak cewek yang mau sama kamu. Anak-anaknya teman Mama ini juga masih banyak lho. Cantik, pintar, lulusan S1 semua–bahkan ada yang mau S2!"

"Mama belum ketemu sama dia loh, masa langsung nggak suka? Sasti tuh cantik, pintar, dan lulusan S2 juga, Ma. Kalau status Sasti jadi masalah buat Mama, harusnya Mama larang Bela buat nikah sama duda. Apa bedanya janda dan duda? Sama aja, kan?" Banyu mendadak mengeluarkan nama kakaknya yang menikah dengan duda. Kalau Ina bisa setuju dengan hubungan kakaknya, kenapa harus menentang hubungannya?

"Kamu dan Bela itu sama-sama keras kepala. Kamu pikir Mama nggak larang Mbakmu? Mbakmu sampai mau kawin lari kalau nggak direstui."

"Ya sudah, Banyu juga mau kawin lari aja sama Sasti. Toh aku laki-laki jadi nggak butuh wali nikah sah."

Mama langsung memukul lengan Banyu. "Jangan sembarangan! Awas kamu berani kawin lari!"

Banyu mengaduh tapi kemudian ia tersenyum. "Kalau Mama nggak ngerestuin, ya…"

Ina menghela napas panjang. "Memangnya kamu sudah ketemu sama orang tuanya Sasti? Kalian serius?"

"Sudah," jawab Banyu tidak 100% berbohong. Ia kan memang sudah bertemu ayahnya Sasti walaupun masalah keseriusan itu masih tanda tanya besar. 

"Terus kamu kenapa nggak ajak Sasti ke sini sekalian?"

"Aku takut Mama malah nyerang Sasti. Lihat aja sekarang, baru aku ceritain dikit sudah judgemental. Aku bakal ajak Sasti ke sini kalau Mama janji bakal baik sama dia. Aku cinta banget sama Sasti, Ma." Lagi-lagi kebohongan yang sempurna.

Ina berdecak. "Kalau kamu memang serius sama Sasti, Mama pengin ketemu. Mama nggak mau kamu asal nikah. Sampai saat ini, Mama nggak setuju kamu sama Sasti."

"Niatku serius sama Sasti, Ma."

“Kamu serius? Sastinya juga beneran mau sama kamu?"

"Rahasia."

"Tuh kan. Dia aja nggak mau sama kamu, Mas Banyu. Sudahlah, kenalan dulu sama anaknya teman mama. Nggak mesti langsung suka kok, kenalan dulu."

Banyu tetap menggeleng tegas. "Nggak perlu, Ma. All I want is Sasti. Titik."

Banyu sendiri tidak tahu dari mana keberanian itu untuk mengucapkan itu dengan lancar. Ia tampaknya harus mengatakan pada Sasti tentang obrolannya dengan sang mama. Jangan sampai Sasti marah.

***

Setelah dari rumah orang tua, Banyu langsung menuju Rinjani untuk bertemu dan pamitan pada Sasti. Ia tidak memberitahu kedatangannya pada Sasti karena berasumsi Sasti selalu ada di Rinjani. 

"Sasti ada, kan?" tanya Banyu pada Bina yang berdiri di balik kasir. Dari tag namanya, Banyu sudah tahu kalau namanya Bina.

"Mbak Sasti ada di ruangannya, Mas. Mau ketemu? Sudah ada janji?"

"Belum, sih, tapi boleh minta tolong dipanggilin nggak?"

"Oh boleh. Atas nama Mas siapa?" 

"Banyu."

"Oh oke. Nanti saya panggilkan. Pesanannya ini aja, Mas?"

"Iya, itu dulu aja. Thanks, ya, Bina," ucap Banyu seraya tersenyum ramah. Ia pun mengeluarkan uang untuk membayar pesanannya.

“Sama-sama Mas Banyu,” balas Bina tidak kalah ramah.

Banyu akhirnya mencari tempat kosong sembari menunggu kehadiran Sasti. Tidak lama kemudian, ia melihat Bina meminta tolong pada rekannya yang lain untuk memanggil Sasti. 

Banyu dengan sabar menunggu kehadiran Sasti. Sekitar 10 menit kemudian, Sasti akhirnya muncul di hadapannya.

“Maaf ya, Nyu. Tadi aku habis angkat telepon papa. Ada apa, ya?” Sasti duduk di depan Banyu dengan sangat Anggun. Rambut panjangnya yang bergelombang tersampir di sisi kanan bahunya.

Banyu dalam hati memuji Sasti yang cantik. Ia pun tersenyum lalu minta maaf karena telah mengganggunya. “Aku mau pamit soalnya besok sudah berangkat ke Lombok.”

“Rinjani?”

Banyu mengangguk. “Iya, ke Rinjani.”

“Oke, hati-hati, Nyu.”

“Satu lagi, Sas…” Banyu pun menceritakan tentang kejadian di rumah orang tuanya tadi. Tentang Banyu yang mengatakan bahwa Sasti adalah pacarnya. Ia mencoba mengerti ekspresi wajah Sasti, tapi benar-benar tidak mengerti karena wajah Sasti datar sekali. “Kamu nggak marah kan, Sas?”

Sasti menggeleng. “Nggak. Kayaknya ini fair. Kamu berpura-pura di depan orang tuaku, jadi aku harusnya bisa melakukan hal yang sama. Aku ingat tujuan awal kamu. Ini supaya kamu bisa keliling Indonesia dengan tenang dan aku juga bisa ngurus Rinjani dengan tenang.”

“Aku nggak bakal minta kamu ketemu orang tuaku, Sas. Aku cuma perlu bilang kalau mereka sudah tahu tentang kamu.”

“Oke, Nyu.”

Banyu tersenyum lagi lalu seperti biasa mulai menawarkan oleh-oleh untuk Sasti. Dan seperti biasa, Sasti menolak. Namun, apa pun yang dikatakan Sasti, Banyu akan tetap membawakan oleh-oleh untuknya. Hanya saja, hal yang berbeda kali ini, Sasti menemaninya mengobrol sampai dua jam. Sasti memang tidak banyak bicara, tapi sudah sering merespons dengan baik tiap ucapan yang dikeluarkan Banyu.

Banyu mungkin belum pergi, tapi ia sudah rindu ingin bertemu Sasti lagi. 

***










diaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang