19. No

285 44 0
                                    


Menikah adalah salah satu keinginan Sasti sejak kecil. Ia melihat kedua orang tuanya hidup bahagia dan berharap memiliki kehidupan yang sama. Ketika bertemu dengan Rio, ternyata mereka satu visi dan Sasti berharap bisa menjalankan impiannya dengan Rio sampai tua.

Begitu mudah, tanpa hambatan dan halangan. Mereka menikah setelah lulus kuliah. Kehidupan mereka bahagia walaupun belum dikaruniai seorang anak. Keduanya sengaja menunda karena pada saat itu sadar bahwa mereka belum siap lahir dan batin. Menunda itu adalah kesepakatan bersama.

Saat itu, menunda memiliki anak mungkin hal yang baik. Namun, setelah kepergian Rio, Sasti sadar bahwa itu bukan keputusan yang tepat. Ia tidak memiliki hal yang bisa membuatnya mengingat Rio. Ia akan hidup sendirian tanpa Rio. Selamanya.

Sasti amat menyesal karena tidak bisa membahagiakan orang tua Rio dengan kehadiran buah cinta mereka. Jika mereka punya anak, setidaknya orang tua bisa melihat Rio melalui buah hati mereka.

"Tante Sasti, aku mau donat kentang yang kayak waktu itu Tante bawa," ucap Arin setelah menghabiskan bolu pisang buatannya.

"Donat, ya? Nanti Tante Sasti bawain lagi deh kalau ke sini. Kamu mau apa lagi?" Sasti tersenyum menunggu Arin yang menyebutkan beberapa kue favoritnya.

Irin pun berdecak mendengar semua daftar kue yang keluar dari mulut anaknya. "Kak, satu aja. Nggak usah semua disebutin. Kasian dong Tante Sasti nanti bawaannya banyak."

"Nggak apa-apa, nanti aku bawanya gantian," sahut Sasti sambil tersenyum.

"Duh, Sas. Nggak usah. Ngerepotin. Nggak usah dibawain terus, nanti makin banyak request." Irin mengingatkan anaknya untuk berhenti menyebutkan semua makanan. Agar diam, ia memberikan bolu lagi pada sang anak. Untungnya taktik itu berhasil karena Arin sudah fokus makan lagi.

Setelah itu, Irin kembali lagi pada Sasti. "Tumben siang-siang gini mau main, Sas. Lagi bosan di Rinjani?"

Sasti tidak pernah bosan dengan Rinjani. Ia hanya ingin berbicara pada Irin dan meminta sarannya. Soal pernikahan Dea dan permintaan ayahnya.

"Mau bilang apa lagi ke Pak Salim?" tanya Irin setelah mendengar cerita Sasti dan kebohongannya.

"Ujung Kulon? Banyu bilang memang lagi di sana sih. Kira-kira papa percaya nggak, ya?"

"Mungkin, Sas. Tapi kamu sudah bohong pas lamaran, apa papamu nggak curiga kalau Banyu pergi mulu saat ada acara keluarga?"

"Semoga sih nggak, tapi beliau minta Banyu ngomong langsung kalau nggak bisa datang. Kalau minta tolong Rifky nelpon ngaku sebagai Banyu bisa nggak?"

Irin langsung menggeleng. "Rifky mana mau ikut campur kayak gitu, Sas. Kenapa nggak minta tolong ke Banyu langsung buat nolak?"

"Aku nggak yakin kalau Banyu mau nolak. Aku takut tiba-tiba dia bersedia datang."

"Kan dia di Ujung Kulon?"

"Siapa tahu dia pulang sebelum acara Dea."

Irin mengubah posisi duduknya agak maju sebelum menanyakan hal sensitif lain. "Memangnya kenapa sih kalau Banyu mau datang? Kan kalian memang pura-pura pacaran. Harusnya bagus dong jadi lebih meyakinkan Pak Salim?"

Sasti menarik napas sebelum akhirnya mulai menceritakan bahwa dirinya sedang menjaga jarak dengan Banyu. Semua itu ia lakukan supaya Banyu tidak menyukainya.

"Sas, memangnya kenapa sih kalau Banyu suka sama kamu? Kenapa Banyu nggak boleh suka? Kenapa kamu segitu nggak mau sama Banyu?"

"Bukan cuma Banyu, Rin. Kamu tahu aku selalu nolak cowok."

diaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang