26. Apa Itu Menyerah?

417 51 3
                                    


Semua orang kembali ke kehidupannya lagi kecuali Sasti. Dea sudah kembali ke Jakarta lagi dan Sasti sendirian di Bogor. Ia masih tidak pergi ke Rinjani dan memilih berdiam diri di rumah orang tuanya.

Di rumah sudah tidak tahlilan beramai-ramai lagi jadi rumah kembali sepi. Sesekali Irin datang menemani Sasti bersama anak-anaknya. Rumah menjadi ramai dan Sasti ikut senang. Selain Irin, Banyu juga selalu datang ke rumahnya.

Banyu menepati janjinya untuk datang setiap hari ke rumah Sasti setelah pulang kerja. Sasti sempat bertanya apakah pria itu tidak punya rencana lain karena selalu mampir dan bagaimana dengan jadwal olahraga yang biasanya dilakukannya sore hari?

Banyu tidak menjelaskan dengan detail, pria itu hanya mengatakan semua sudah diatur sehingga dirinya bebas datang ke mana pun yang ia mau di sore hari. Sasti akhirnya tidak lagi protes dengan kehadiran Banyu.

"Aku tadi lewatin tukang jualan bajigur, Sas. Lumayan nih bisa jadi teman ngobrol kita," ucap Banyu dengan riang sembari menunjukkan kantong kresek hitam yang berisi bajigur dan teman-temannya. Kedatangan Banyu selalu diawali dengan senyuman riang gembira. Hal itu pun menular ke Sasti.

Sasti tersenyum. "Ada pisang rebus?"

"Ada! Aku beli beberapa buah, terus ada kacang kedelai, ubi rebus juga ada."

Sasti kemudian mengambil piring untuk meletakkan jajanan yang dibeli Banyu. Ia juga tak lupa mengambil gelas besar untuk diisi bajigur.

Banyu juga membeli untuk orang-orang yang ada di rumah Sasti. Mbok saja sampai bingung karena Banyu begitu perhatian.

Keduanya kemudian mengobrol di ruang tamu lagi. Banyu tidak berhenti tersenyum saat Sasti mengatakan bahwa ia menyukai jajanan tersebut. Pria itu kemudian menawarkan diri untuk membawa makanan yang Sasti inginkan lagi saat berkunjung besok.

"Nyu, kamu nggak perlu repot-repot."

"Aku nggak merasa direpotkan. Santai aja, Sas."

Sasti masih memegang gelas yang isinya sudah hampir habis. "Nyu, Papaku sudah nggak ada. Kita nggak perlu berpura-pura pacaran lagi."

Banyu tampaknya akhirnya mengerti ke mana arah pembicaraan mereka. Ia meletakkan mangkuknya di meja. "Gimana kelanjutan Rinjani?"

"Papa nggak pernah serius mau jual Rinjani, ternyata dia nggak pernah ngubah warisannya. Itu cuma gertakan aja supaya aku nikah lagi. Papa tetap kasih Rinjani ke aku."

Banyu manggut-manggut mengerti. Ia diam sesaat dan terlihat memikirkan sesuatu untuk disampaikan.

"Kamu sudah nggak perlu pura-pura, Nyu," ulang Sasti.

"Aku nggak keberatan kalau terus pura-pura pacaran. Aku juga nggak keberatan kalau serius pacaran sama kamu, Sas. Aku pengin jadi bagian dari hidup kamu terus."

Sasti menahan napas lalu memalingkan wajah sesaat. "Banyu, aku sudah bilang kalau aku nggak akan berubah pikiran. Aku masih serius soal itu."

"Aku tahu dan aku nggak masalah soal itu. Aku pun nggak akan maksa supaya perasaan kamu berubah. I just want to be here for you right now, be your friend. Selama aku bisa nemenin kamu, aku pengin melakukan itu. Kamu nggak berkewajiban untuk balas perasaanku kok."

"Tapi aku nggak enak karena kamu selalu kasih perhatian lebih daripada yang aku butuhkan."

"Kamu nggak nyaman dengan kehadiranku, Sas?"

Sasti diam lalu menggeleng. "Bukan itu maksudku, aku nggak enak karena aku nggak bisa balas perasaan kamu."

"Nggak usah mikirin itu, aku juga nggak minta, kan? Santai aja, Sas. Tapi kalau memang kamu nggak nyaman, aku kurang-kurangin deh datang ke sininya ya. Sudah, kamu nggak usah khawatir. Tenang aja. Aku nggak akan maksa kamu biar suka balik sama aku."

diaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang