Artha telah siap dengan penampilannya. Ia menggunakan hoodie berwarna biru, kemudian keluar meninggalkan mansion seraya mendengarkan alunan musik lewat earphone putihnya.
Pria itu berlari kecil, langkah nya menuntun Artha menuju pusat kota setelah 30 menit ia tempuh tanpa berkendara. Ia mendudukan dirinya di kursi taman. Langit biru mulai menampakkan semburat tipis jingga yang membuat siapapun candu dan tak ingin beranjak dari tempatnya saat ini.Dug!
Sebuah bola berwarna orange mengenai kakinya, iapun mengulurkan tangan untuk mengambil bola tersebut.
"Permisi kak, boleh minta bolanya?" ucap gadis kecil di depannya. Sekitar umur 5 tahun. Artha terdiam sejenak.
"Kak.. " gadis itu memanggilnya lagi. Lantas Artha tersadar dan mengembalikan bola tersebut.
"Kakak sendirian aja?"
"Iya."
"Pasti bosen, mending main bola sama aku," tatapan Artha kian melekat pada wajah gadis kecil itu. Entah ia seakan diingatkan oleh seseorang.
"Mau tidak kak? pasti mau, dari pada kakak bengong gak jelas disini, ya kan??"
Artha tersenyum kecil lagi lalu mengangguk. "Baiklah"
Tangannya pun di tarik untuk mengikuti gadis kecil itu ke lapangan. Taman kota terlihat di penuhi berbagai macam manusia. Ada yang sedang bercanda gurau, ada yang sedang menghabiskan waktunya bersama keluarga maupun pasangan.
15 menit berlalu, gadis kecil itu terlihat kelelahan bermain dengan Artha yang keterampilan nya di atas rata-rata untuk disandingkan dengan seorang anak kecil. Artha pun menyudahi permainan mereka.
"Kak kita belum kenalan. Siapa nama kakak? Aku Hika" Kemudian ia tersenyum menampilkan deretan gigi yang tertata begitu rapih.
"Artha."
"Okay kak Artha, ternyata kakak mainnya jago juga yah. Padahal di sekolah, aku lho yang paling jago. Boleh dong kak, kapan-kapan ajarin aku lagi."
Artha mengangguk. Ada yang mengusik pikiran nya sejak awal melihat gadis itu berdiri di hadapannya.
"Kamu kenapa main sendiri?"
Itulah yang ingin ia tanyakan, sebab dari banyaknya anak kecil di taman itu, mengapa ia hanya bermain seorang diri, mengingat kannya lagi dengan seseorang.
"Aku tadi berdua."
"Sama siapa?"
"Aku berdua sama kakak aku, dia lagi beli minum, tapi kayaknya udah lama banget dari tadi."
"Kira-kira beli dimana ya, gak mungkin kan aku di tinggalin," ucapnya lagi.
"HIKAA!!" panggil seseorang. Ia pun sontak menoleh.
"Gen? Kenapa?"
"Aku tadi lihat kakak kamu jatuh keserempet motor."
"Serius kamu?! Dimana?" Anak laki-laki itu mengangguk.
"Di halte depan" Hika pun terlihat gelisah dan segera pergi ke halte bersama dengan anak kecil tadi dan juga Artha yang turut menemani.
Sesampainya disana, banyak orang yang mengelilingi. Setelah kedatangan Hika bersama yang lain, orang-orang disana pun merasa lega.
"Kakak kenapa?"
"Gak papa kok ka.. " Orang-orang mulai berpergian, ada yang menitip pesan juga kepada Artha yang terlihat datang bersama Hika untuk membantu membawanya pulang.
"Pantes, dari tadi hika tungguin kakak malah gak balik-balik."
Di sisi lain, Artha terpaku di tempatnya, melihat siapa yang gadis kecil itu sebut dengan panggilan kak.
Hika menatap wajah sang kakak yang sedikit tergores, tangannya terangkat menyentuh dahi sang kakak.
"Aaws," ringisnya.
"Jangan di pegang dong ka.. Masih basah tahu."
"Kan.. Kakak sih, udah telfon bang Raz belum?"
"Sudah tetapi tidak diangkat."
"Pasti sok sibuk lagi bang Raz, terus kakak gimana pulangnya?"
"Hika.. Di bantu sama kakak ini aja," saran Geno, anak laki-laki yang tadi menghampiri mereka.
Hika pun menoleh ke arah Artha. Sedang pria itu mengelus tengkuknya.
"Kalian membutuhkan bantuanku?" pertanyaan macam apa itu. Ia merutuki dirinya sendiri lantas segera berjongkok memberikan punggungnya di depan gadis yang tengah terluka.
"Oh iya, pasti kakak Hika gak bisa jalan, liat kakinya aja lecet gitu."
"Siapa dia ka.. "
"Temen Hika," Kemudian gadis kecil itu tersenyum.
"Eh, tidak usah, kau bangun saja lagi, aku takut merepotkanmu."
"Tidak sama sekali," dibalik diamnya, ia tersenyum sngat tipis, bahkan dilihat dari dektapun tidak seperti sebuah senyuman.
"Kak, rumah kita ada di belakang taman, deket kok," Hika terdiam sejenak.
"Kakak kuat kan?" kini hika bertanya kepada sang kakak.
Ia adalah Eyra, gadis itu mengangguk.
"Biar Hika sama Geno naik sepeda," ucap Geno, mau tak mau Eyra mengiyakan lagi.
Alhasil, kini gadis itu naik ke punggung Artha, mereka melewati jalan belakang komplek demi mempercepat perjalanan.
Jalanan terasa sangat sunyi sekali ketika keduanya saling diam, terlebih matahari yang semakin bergulir. Kanan kiri jalan telah menjulang pohon-pohon rindang. Membuat jalanan semakin gelap, terlebih pencahayaan jalanan yang sangat minim.
Sebilah ingatan kian menyapa Artha, lagi-lagi menimbulkan senyuman tipis yang tak diketahui siapapun.
"Kemana?" tanya Artha memecahkan lamunan Eyra.
"Belok kanan didepan, rumah warna krim," tak lama kemudian merekapun sampai.
Artha menurunkan Eyra perlahan hingga gadis itu turun dengan sempurna.
"Terimakasih, maaf ya sekali lagi jika aku merepotkanmu."
"Iya," keduanya saling diam.
"Oh iya, Eyrafa," gadis itu mengulurkan tangannya, Artha masih tak bergeming.
"Panggil saja Eyra." ia pun akhirnya menyambut uluran tangan Eyra.
"Artha."
Eyra tersenyum simpul.
"Lain waktu kalau kita bertemu lagi aku akan mentraktirmu jika kau senggang, mau masuk dulu?" Artha menggeleng.
"Sebaiknya aku langsung pulang saja."
"Oh baiklah.. Hati-hati ya.. Artha," Eyra melambaikan tangannya.
Next>>>
KAMU SEDANG MEMBACA
Reset
FanficBagaimana rasanya ketika kamu bangun dari tidurmu, semua kenangan yang menyakitkan lenyap seketika, bukan kecelakaan bukan kebetulan, namun ini sebuah keajaiban. Kamu kembali hidup tanpa bayang-bayang masa lalu yang kelam. Namun kosong, seakan bayi...