2

253 15 0
                                    


Pukul 19.18, Shania baru sampai ke rumah. Ia langsung mandi dan mensetrika pakaian untuk besok. Acara ospeknya sampai jam 18.00. Syukurlah, ia mendapat keringan untuk tak bekerja selama seminggu ke depan. Itu digunakan sebaik mungkin untuk membantu ibunya di mansion, ya walaupun hanya membantu di dapur sedikit mengurangi beban ibunya.


"Shan, sudah pulang?" tanya Bu Darmi sedikit kaget putrinya sedang anteng melipat pakaiannya.


"Sudah, Bu." Shania tersenyum hangat. Ia memeluk ibunya. "Ayo, aku pijitin Bu!"


Bu Darmi menyelonjorkan kakinya di ranjang yang keras mereka. Tangan halus putrinya menyentuh kulit keriputnya. Rasanya kakinya akan terus sehat jika putrinya itu selalu  di sampingnya.


"Ibu, Kak Shella..." lirihnya.


"Jangan sebut nama itu lagi!" Bu Darmi sedikit berteriak. "Harusnya kamu marah sama dia, Shan. Dia telah membohongi kamu dan menyebabkan kamu hampir dikeluarkan dari SMA."


Suara wanita tua itu terdengar marah, tetapi Shania tahu isi hatinya. Shella adalah anak pertama Bu Darmi yang pindah ke USA. Kakaknya membohongi keluarganya dengan bilang akan belajar di sana. Dia juga mengatakan akan menikah dengan pria baik sampai Shania rela memberikan uang tabungannya untuk kuliah kepada sang kakak. Apa yang mereka dapat? Shella berbohong. Dia tinggal bersama pria tak jelas di sana.


"Aku sudah mentransfer uang buat Kakak, Bu. Kali ini, kita doakan supaya Kak Shella melakukan hal yang baik dengan uang tabungan itu."


"Shania! Ibu tak habis pikir sama kamu. Kebaikanmu itu nurun dari siapa sih. Kamu terlalu baik, Sayang!" Bu Darmi berhambur ke pelukan putrinya.


"Akukan anak Ibu. Aku dididik hal yang baik oleh ibuku Sayang ini."


***


Di kamar nuansa monokrom, Nathan tengah sibuk dengan laptopnya. Ia menyiapkan beberapa hal untuk keperluan ospek besok. Sekaligus, ia juga masih disibukkan dengan beberapa pekerjaan. Selaku Ketua BEM Fakultas, Nathan ingin memberi yang terbaik sebelum ada suatu hal yang akan menghalangi. Benarkan, kita tak tahu apa yang terjadi ke depannya.


Mejanya sudah penuh oleh beberapa bingkisan makanan dari kedua sahabatnya. Aneh saja mereka berdua, tiba-tiba mengirim paket makanan kek gini. Kata mereka sih untuk menemani pekerjaannya.


Drt! Drt!


Nathan acuh. Ia malas harus menanggapi Raphael, apalagi Leon. Tidak dulu. Mood-nya bisa rusak gara-gara mereka. Namun, panggilan itu terus berdering membuat Nathan penasaran. Sebuah love berwarna merah merubah raut kekesalan jadi senyuman.


"Halo Sayang, kamu kenapa gak ngejawab terus? Lagi selingkuh, ya? Kapan ke London? Kamu kok belum ke sini dari satu bulan yang lalu."


"Maafkan aku, Elsya Sayang. Aku masih banyak kerjaan di sini," Nathan menghela napasnya kasar. Jemari yang tadi sibuk mengetik, kini disingkirkan karena panggilan dari kekasihnya. "Aku gak bakalan selingkuh, tenang saja!"

Duka dalam CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang