8

199 6 0
                                    


Hoam!


Nathan terusik dengan cahaya matahari yang menelusup ke kamarnya. Matanya mengerjap menghindarinya, tetapi tak bisa dihindari. Alhasil, mata tajamnya terbuka sepenuhnya. Mungkin, sudah waktunya ia bangun.


Aneh. Ada sesuatu yang mengganjal di kepalanya, tetapi bukan bantal. Ia mengarahkan kepalanya ke atas, betapa terkejutnya perempuan yang akhir-akhir ini ia hindari sedang tertidur sambil terduduk. Nathan segera bangkit dari pangkuannya. Perempuan itu yang merasa terusik pun juga bangun.


"Lo ngapain di sini? Wah bener-bener cari kesempatan ya lo!" tuduh Nathan. "Beraninya Lo naik ke ranjang majikan Lo sendiri. Cih, jadi yang malam itu Lo dalangnya kan? Sok ngerasa paling tersakiti. Tapi, itu emang niat Lo supaya dapet duit kan?"


Tes!


"Aku gak kayak gitu!" lirih Shania tak setuju dengan apa yang diucapkan Nathan.


"Pergi sana! Jangan masuk lagi ke kamar gue!" marahnya yang persis seperti sang ayah. Menyeramkan. Bahkan, Shania merasa Nathan paling menakutkan.


Mata elangnya sudah tak melihat lagi perempuan itu. Shania terbirit sampai terjatuh tadi. Seperti biasa, ia bersikap tak peduli. Diliriknya seprai putihnya, sontak bak orang kesetanan dia singkirkan. Ia tak sudi bekas anak pembantu itu tertinggal.


"Sialan, udah berapa lama tuh cewek ke sini?! Anjing banget!" umpatan terus dilayangkannya kala Nathan membuka ponsel yang menunjukkan pukul 15.25.


Nathan frustrasi. Ia menyegarkan pikirannya dengan mandi. Selepas itu, ia akan pergi ke perusahaan ayahnya. Pasti Sam akan memakinya karena melewati rapat penting tadi pagi.


Sementara di sisi lain, Shania memeluk tubuh Bu Darmi dari belakang. Tangisannya sudah tak bisa lagi ia sembunyikan.


"Ibu ... Kalo kita pindah kerja saja bagaimana?"


"Lohh, kamu kenapa? Ada masalah? Tuan Nathan marahin kamu?" Bu Darmi berbalik. Dia mengusap lembut perempuan cantik itu. Shania terus menggeleng.


"Pasti kamu ketakutan sama Tuan Muda," helaan napas dari Bu Darmi terdengar. Tadi pagi, putrinya turun menanyakan bagaimana cara agar menyembuhkan Nathan tanpa harus memanggil dokterb. Bu Darmi tentu siap membantu, dia ke atas bersama putrinya. Setelah diobati, Bu Darmi mempersilakan Shania pergi. Namun, tangan Nathan dengan erat menahannya. Bu Darmi pun mengijinkan anaknya menemani sang tuan.


"Ibu, aku gak bisa bantu lagi maaf ya. Kepalaku pusing!"


Bu Darmi dengan sigap memapah Shania. Dia ijin kepada rekannya agar mengganti tugasnya lebih dahulu.


Sudah dua hari, Shania ijin karena sakit. Sebenarnya, pagi ini juga merasa pusing dan mual. Akan tetapi, mana bisa ia melewatkan kuis dengan tak masuk kuliah. Ia tak mau susulan sendiri.


"Shan, makanannya kok gak dihabisin? Masih mual kah?" tanya Bu Darmi melihat piring bekas putrinya masih ada nasi dan lauk. Sepertinya, itu baru disantap beberapa suapan.

Duka dalam CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang