12

176 8 0
                                    


Teriknya matahari tak menyurutkan semangat Shania untuk mengantar pesanan. Ia mengantarnya menggunakan motor milik kos yang menganggur. Sudah lama ia tak mengendarai roda dua itu, sekitar lima tahun yang lalu. Untungnya, ia masih ingat caranya. Walaupun kaku, ternyata sampai juga di tujuan. 


Sore harinya adalah waktu untuk membeli beberapa bahan masak buat besok. Bu Darmi yang menjaga toko dan Shania menggantikan ibunya ke pasar. Motor tadi, dipakai oleh temen kosnya untuk mengerjakan tugas kelompok. Shania jadilah memesan ojek online. Setelah selesai, ia tak langsung pulang, tetapi singgah di taman kota. Ada tugas membuat artikel untuk besok. Setengahnya lagi, Shania harap bisa merampungkannya sebelum jam 18.00.


Satu jam kemudian, akhirnya selesai. Tepat pukul 18.00, ia menyelesaikannya. Shania menyimpan kembali laptopnya ke totebag. Langit sudah berubah menjadi gelap. Tadi sore yang banyak anak-anak, kini berganti menjadi muda-mudi yang berpacaran. 


"Aku naik ojek lagi aja ah. Tapi, kasih pesan dulu ke Ibu." gumamnya. Jemarinya mengetik beberapa kata. Bu Darmi langsung membalasnya.


"Lah, kok pada cancel. Masa naik bus sih. Nunggu satu jam lagi jadinya."


Byur! Byur! Byur!


Hujan lebat langsung mengguyur ibukota. Shania kesusahan memegang belanjaan, sedangkan halte masih jauh. Mobilitas juga lagi padat-padatnya karena pulang kerja. Cipratan air mengotori kemejanya, pengendara tidak berperasaan melaju begitu cepat. Ia langsung memeriksa keresek belanjaan saat sampai di halte. Masih aman, syukurlah.


Tit! Tit! Tit!


"Shania, kamu di sini? Ayo, naik ke mobil Nathan di belakang! Busnya gak akan datang cepet. Ada pohon tumbang di sebelah sana." Raphael dengan baik hatinya menawarkan. Ia berteriak dari mobil. "Sorry ya gak bisa sama gue anterinnya, mobilnya penuh buat barang pindahan Leon."


Shania melirik ke mobil belakang. Kaca mobilnya terbuka menampakkan wajah dingin mantan tuan mudanya. "Nggak Kak, aku bisa pesan ojek aja atau mobil. Terima kasih atas tawarannya."


"Nggak akan bisa, Shan. Sama aja. Cepet nanti Nathan marah!"


"Buruan El, berat tahu paha gue." Leon memukul kepala sahabatnya. Alhasil, Raphael menginjak gas dan berpamitan.


Mobil hitam maju. Nathan mengisyaratkan untuk segera masuk. Shania hanya menurut. Ia membuka pintu belakang serta menyimpan keresek lebih dahulu. Saat bokongnya ingin mendaratkan di kursi mobil mewah itu, Nathan mengintrupsi.


"Depan!" perintahnya dengan suara rendah. "Gue bukan sopir lo!"


Gadis cantik itu mengangguk. Nathan hanya diam, tetapi tampang dinginnya mendominasi. Seakan dinginnya air hujan tak sebanding dengan mencekamnya aura pria tampan itu.


"Tuan, di Jalan Mawar, ada toko di sana. Saya turun di situ."


Duka dalam CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang