19

159 8 1
                                    


Shania menutup pintu kamar kosannya. Entah apa gerangan yang membawa Nathan kemari. Pria itu dari tadi siang terus berdiri di depan kamarnya. Karena itulah, Shania menahan keinginannya untuk bekerja. Ia tidak mau bertemu pria itu. Shania bersumpah membencinya. Jika bukan karenanya, Elsya tak akan mengabaikannya. 


Tiga minggu berlalu, Shania bolak-balik ke lokasi syuting. Namun, kakaknya berlaga tak mengenali. Shania paham, ia bisa bersabar. Mungkin, Elsya sakit hati lantaran ia mengambil kekasihnya. Bahkan yang disayangkan, berita miring terkait Elsya beberapa waktu ini marak dipertontonkan, yaitu tak profesional dalam bekerja dan membentak penggemar.


Tok! Tok! Tok!


"Buka! Lo gak kasihan sama gue?! Dah lumutan nih. Lutut gue juga keram," curhat Nathan. Kepalanya mengetuk pintu saking frustasi. 


"Pulang aja! Aku gak akan bukain sampe kapanpun!" Shania baru membuka suara. 


"Gue kalo bisa juga dari tadi pulang. Tapi... Gue mau ketemu sama lo dulu. Bukain pintunya!" Nathan parau. Kepalanya pusing. Pandangannya kabur. "Buka!"


Bruk!


"Mau apa emangnya?" Karena Nathan tak kunjung menjawab, Shania penasaran. Ia mengintip di jendela. Namun, eksistensi suaminya tak terlihat. Firasatnya kacau. Shania pun membukakan pintu dan mendapati Nathan tengah terduduk lemas bersandarkan kursi kayu. Matanya menutup, tetapi mulutnya kumat-kamit. "Kamu sih, kenapa di sini terus?! Aku gak angkat telpon kamu itu tandanya aku gak mau bukain pintunya. Bebal amat!"


Omelannya tak akan masuk satupun ke telinga suaminya. Namun, Shania memilih menyalurkan emosinya dengan berisik. Pandangannya mencari ke sekeliling. Kosannya Rico masih sepi. Syukurlah, dia tak melihat Nathan di sini. 


"Ayo, beridiri! Aku ijinin masuk daripada mati di kosanku!" 


Nathan mengangguk. Ia berdiri sembari tangannya menumpu kursi. Ia memeluk leher Shania saking keliyengannya. Apa boleh buat, Nara tak mau disalahkan pun membantu Nathan berbaring di kasur.


"Aku beli makanan dulu ke depan. Makan seadanya, ya! Salah sendiri nyamperin anak pembantu ini." 


Lima menit kemudian, Shania datang dengan dua bungkus sayur dan tempe oreg. Dirinya sudah makan, jadi persiapan untuk tuannya saja. Nathan malah tertidur pulas. Kesal sudah, ia lari-lari, tetapi yang ditolong malah abai. Dosanya sedikit ringan lantaran Nathan sakit. Shania menyeduh coklat panas baru membangunkan kebo ganteng itu. 


"Emhh, lo dah beli? Gue masih ngantuk. Mending, lo tidur juga sini!" 


"Eh..." belum sempat memprotes, pinggang Shania dipeluk posesif. Tubuhnya membeku. Reaksi tubuhnya tak menolak, yang ada ia tenang dipeluk olehnya. Apakah ini mimpi? 


"Gue mual-mual di kampus. Pengen ketemu lo gak tau kenapa. Gak enak banget sumpah. Makannya, lo harus kasihani gue!" ucapnya berbisik. "Kalo gak ikhlas, gue bayar lo."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 13 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Duka dalam CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang