14

218 13 8
                                    

Pagi ini, Shania begitu bermalas-malasan. Ia tidak ke toko lantaran Bi Darmi memutuskan tutup untuk dua hari ke depan. Konon, beliau masih ingin istirahat selepas jauh mengunjungi putri kandungnya.


Perempuan itu kini menyelonjorkan kakinya di sofa. Kuliah pertama dilaksanakan pada pukul 08.45, sedangkan untuk tugas rumah tangga di apartemen suaminya sudah selesai. Jemarinya sibuk mengetik beberapa pesan untuk Arrellia.


"Lo kenapa gak bangunin gue sih?!"


Shania tersentak. Ponselnya pun tergelincir dari tangannya, syukurlah tak jatuh ke lantai. Ekspresi Nathan sangat kusut. Beberapa buku yang dia masukkan ke tasnya tidak kunjung berhasil.


"Sini, saya bantu, Tuan!" Ia menawarkan diri dan merampas buku-buku serta tas suaminya.


"Dari tadi, kek," bukannya terima kasih, Nathan menyelonong pergi.


Sang suami muda mengambil roti tawar di dapur. Dia melumurinya dengan selai coklat berantakan. Beberapa menu sarapan tersedia di meja padahal. Nathan kadung benci dengan orang yang buatnya.


Uhuk! Uhuk! Uhuk!


Segelas air muncul tiba-tiba di depan wajahnya. Siapa lagi sang pelaku kalau bukan istri pembawa sialnya. Tega, pria itu menangkis gelasnya. Suara pecahan terkalahkan dengan teriakan Nathan.


"Bisa gak sih, lo gak usah ngerecokin hidup gue?! Dasar licik, lo buat semuanya makin runyam!"


"Saya cuman mau bantu Anda saja, Tuan. Maaf!" Shania menunduk menahan tangisnya. Kebaikannya selalu tak berarti di mata Nathan.


"Sini, tas gue!"


Tarikan napas berat terdengar putus asa di telinga Shania. Nathan mengambil tas dari pelukannya paksa. Lantas, dia pergi tanpa permisi.


Shania berjongkok seraya mengambil pecahan gelas. Setegas apapun menahan air matanya, tangisnya selalu jatuh. Ia begitu baperan sekarang. Padahal, dari awal, sikap tuan mudanya memang begitu.


Setelah kekacauan di dapur selesai, ia mewadahi masakannya yang agak gosong. Semua itu akan dibawa ke kampus. Mood-nya buruk jika terus di apartemen. Lebih baik, ia segera ke halte.


Setengah perjalanan, atensinya teralihkan ke pusat perbelanjaan terbesar. Shania turun di halte sana setelah melirik ponselnya. Langkahnya begitu girang seakan pagi tadi tak terjadi apa-apa.


"Ibu sih paling suka tas sama sepatu. Aku coba lihat harganya dulu," monolognya.


Shania benar melihat-lihat itu di beberapa tempat. Akan tetapi, harganya tak sesuai dompet, sedangkan ulang tahun ibu kandungnya sebentar lagi. Sejak dahulu, ia bercita-cita bisa menghadiahi ibunya seperti sang kakak. Di umurnya yang mau menginjak 19 tahun, ia masih menjadi pecundang.


Karena tak ada pilihan yang bagus, Shania kembali melanjutkan perjalanannya. Matkul pertamanya berjalan lancar. Syukurlah, dosennya tak memberi tugas.

Duka dalam CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang