18

3.8K 358 10
                                    

Sangga menyeka keringatnya, melirik ke arah Rendi yang sedang memandikan sapi. Ia adalah pegawai Sangga yang baru. Sangga membutuhkan satu orang lagi sebenarnya, tapi sejauh ini, Rendi cukup membantunya. Selain itu, Rendi juga rajin bekerja dan tampak jujur. Yah, Sangga cukup puas dengan kerja Rendi yang cekatan.

"Ren, kalau udah selesai mandiin sapinya, kamu boleh pulang ya," kata Sangga memberitahu Rendi.

Lelaki yang hanya satu atau dua tahun lebih muda dari Sangga itu mengangguk sopan.

"Iya, Mas," kata Rendi. "Susunya ndak mau sekalian saya bantu sterilkan, Mas?" tanya Rendi dengan nada medoknya yang khas.

Sangga tidak tahu bagaimana Kana bisa menemukan pegawai yang cekatan ini dengan cepat, tapi Sangga lumayan menyukainya. Ia juga sangat sopan, menambah nilainya saja di mata Sangga.

"Boleh, tapi besok aja. Susunya udah selesai saya steril hari ini," kata Sangga.

"Iya, Mas."

Dari sudut mana pun, wajah Sangga sama sekali tidak cocok dipanggil dengan sebutan mas. Namun, karena Rendi sepertinya terbiasa memanggil siapapun yang sedikit lebih tua darinya dengan sebutan mas, maka Sangga membiarkan saja. Ia tidak mengatakan apa-apa lagi. Sangga memutuskan untuk membereskan perkakasnya. Pekerjaannya cukup mudah hari ini berkat kehadiran Rendi. Ia bisa segera menemui Mora.

Ngomong-ngomong soal Mora, perempuannya sudah sembuh dari sakitnya. Hanya saja, sepertinya Mora lumayan sial karena sehabis sakit flu, dua-tiga hari kemudian, ia mengeluh kram perut. Dan ternyata, ia datang bulan. Mora yang datang bulan jauh lebih membuat Sangga khawatir daripada Mora yang hanya kena flu. Pasalnya, perempuan itu tidak bisa bangun dari ranjangnya, malas makan dan terus tidur sepanjang hari karena kesakitan.

Kalau Mora hanya kena flu, Sangga bisa merawatnya dan memberikan obat. Namun, untuk kasus datang bulan, Sangga tak bisa berbuat banyak. Meski ia merawat Mora dengan membantu mengompres perutnya dengan air hangat, sakit perut Mora tak kunjung membaik. Mana, hari ini baru merupakan hari kedua Mora datang bulan pula. Tambah khawatirlah hati Sangga dibuatnya.

"Mas, sudah selesai," lapor Rendi saat ia akhirnya menyelesaikan pekerjaannya.

Sangga mengangguk, memberikan upah harian untuk Rendi karena lelaki itu minta diberikan upah harian demi memberi makan anak-istrinya di rumah. Lelaki itu tersenyum cerah dengan wajah tulus setelah menerima upahnya. Ia menatap Sangga yang tampak datar. Seperti yang ia ketahui, Sangga memang tidak banyak bicara dan juga tidak kelihatan ramah. Namun, selama beberapa hari bekerja untuk Sangga, Rendi menyadari bahwa Sangga lumayan baik.

"Makasih, Mas. Saya pamit, ya."

Sangga mengangguk, membiarkan Rendi beranjak pulang duluan. Lelaki itu membawa perkakasnya kembali ke garasi rumahnya dengan langkah lebar karena ingin segera membersihkan diri dan menemui Mora. Kemungkinan, perempuannya hari ini sedang meringkuk sambil menahan sakit. Tidak butuh waktu lama bagi Sangga untuk bersiap. Dalam tiga puluh menit, ia sudah selesai mengurusi dirinya dan makan siang. Lelaki itu kemudian mengendarai sepedanya menuju rumah Mora.

Karena sudah dalam tahap hubungan serius, Mora memberikan Sangga kunci cadangannya agar lelaki itu bisa bebas keluar masuk rumahnya. Sangga jadi tidak perlu menekan bel jika ia ingin berkunjung ke rumah Mora. Walau begitu, ia tetap mempertahankan sikap sopannya untuk Mora. Sangga hanya berniat menggunakan kunci cadangan itu dalam keadaan darurat, seperti jika Mora sakit dan tidak bisa bangun untuk membuka pintu. Kalau hari ini, Sangga yakin Mora masih mampu berjalan sampai ke pintu depan.

Tentu saja Mora muncul untuk membukakan pintu tak lama setelah Sangga membunyikan bel pintunya. Hanya saja, wajah perempuan itu kelihatan lesu. Dan Sangga rasa, Mora kelihatan lebih murung dari biasanya meski perempuan itu sama sekali tidak mengubah ekspresinya. Lelaki itu membuka mulut, hendak mengatakan sesuatu, tapi Mora maju untuk memeluk Sangga erat.

Romancing The RancherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang