Kana baru selesai mengepel ruang tamu rumahnya saat Mora menelepon. Perempuan itu sedikit terkejut melihat nama Mora muncul di layar ponselnya. Sebelum menjawab telepon Mora, Kana menyempatkan diri untuk memeriksa ibunya yang sedang menonton televisi di ruang keluarga. Merasa jika ibunya kelihatan tidak membutuhkan perhatiannya, Kana beranjak masuk ke dalam kamar untuk menjawab telepon Mora.
"Halo?"
"..."
Tidak ada suara. Kana mengerutkan kening, menjauhkan ponsel dari telinga untuk melihat layarnya. Teleponnya tersambung.
"Halo?" Kana kembali berbicara.
Sejenak, tidak ada balasan dari Mora. Kana hampir mengomel karena berpikir Mora sedang menjahilinya. Namun, saat mendengar suara tangisan Mora di seberang sana, Kana langsung panik.
"Mora? Mora! Kamu kenapa?"
Mora masih tersedu. Kana tidak pernah mendengar Mora menangis seperti ini. Apa yang terjadi pada sahabatnya di kota?
"Ka-Kana ... aku ... aku mau pulang ke rumah. Aku capek di sini."
Kana tahu, Mora selalu menyembunyikan segala kesedihan dalam dirinya selama ini. Ia sudah menduga suatu saat, Mora pasti akan meledak dan menangis seperti ini. Tapi, Kana sama sekali tidak menyangka hal ini akan terjadi saat ia tidak berada di dekat Mora. Ia melirik jam dinding di kamarnya. Baru pukul setengah empat menjelang sore.
Kalau ia menyusul Mora ke Parama ... ah, tidak bisa! Ia harus merawat ibunya. Florine akan kerepotan kalau ditinggalkan sendiri.
Benar! Ia sebaiknya melapor kepada Sangga. Perempuan itu segera menyalakan loudspeaker sambil mengetik pesan untuk Sangga di ponselnya. Sementara, sambil melakukan semua itu, Kana terus memanggil nama Mora dan berusaha menenangkannya.
"Kenapa? Coba cerita sama aku," kata Kana lembut, tapi dahinya berkerut-kerut.
Apa sikap keluarganya sangat keterlaluan kali ini, sampai Mora menangis tersedu begini?
"Aku mau pulang. Aku mau dengar suara Sangga tapi dia masih marah sama aku."
Kana meringis. Sangga diam-diam begitu ternyata tahan juga merajuknya. Kana pikir, Sangga dan Mora sudah baikan pasca masalah Mora lupa memberi tahu Sangga perihal keberangkatannya ke kota karena Sangga kelihatan agak tenang akhir-akhir ini. Ternyata mereka masih bertengkar.
"Kak Verdion tahu aku sama Sangga. Dia ngadu ke Papa." Mora terisak lagi. "Terus, Papa bilang supaya aku nggak usah sama Sangga. Papa bilang mau jodohin aku sama orang lain."
Tangisan Mora semakin nyaring. Kana semakin panik. Cepat-cepat ia kirimkan pesan yang sudah ia ketik di kolom pesannya untuk Sangga.
Sangga, Mora nelepon aku. Dia lagi nangis sekarang. Kayaknya masalah sama keluarganya makin besar.
Kana menatap pesan yang sudah ia kirimkan kepada Sangga. Akan tetapi, setelah mendengar cerita Mora barusan, Kana memutuskan untuk mengetik satu pesan lagi. Pesan yang satu ini sangat penting, supaya Sangga berhenti merajuk pada Mora.
"Mora? Tenang, ya? Tarik napas dulu," kata Kana halus sambil mengetik. "Pelan-pelan ngomongnya, oke?"
Mora terisak lagi. Kana jadi merasa kasihan. Orang-orang pulang ke rumah keluarganya dan pasti akan merasa bahagia karena bisa melepas rindu. Tapi, Mora justru malah menangis sedih. Bahkan meski tidak bisa melihat ekspresinya, Kana bisa merasakan betapa suasana hati Mora sangat kalut dan putus asa dari suara tangisannya.
Ngomong-ngomong, Mora bilang kamu bakalan susah dapat restu orang tuanya. Dia juga disuruh ketemu cowok lain.
Kana mengirimkan pesan itu kepada Sangga dengan buru-buru. Pesannya masuk, tapi belum dibaca. Sementara, Mora masih terisak pelan selama sepuluh menit penuh sampai Sangga akhirnya membaca pesan yang Kana kirimkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Romancing The Rancher
ChickLitSangga tahu kalau jatuh cinta pada Mora akan membuatnya menjadi bukan dirinya. Akan tetapi, mana sanggup Sangga mengendalikan hatinya yang entah sejak kapan selalu tertuju pada Mora?