"Alur ceritamu bagus, tapi aku kok ngerasa adegan ranjangnya flat, ya?"
Mora memasang wajah masam saat mendengar ucapan Catherine di telepon. Naskah yang kemarin ia kirimkan sudah diperiksa oleh Catherine. Berani taruhan, perempuan itu begadang semalaman untuk membaca naskahnya. Catherine dahulu adalah pembaca setianya sebelum ia menjadi editornya. Makanya, setiap karya yang Mora ciptakan pasti dibaca dan diselami oleh Catherine agar sempurna. Ia juga tidak ragu-ragu memberi kritik jika menurutnya ada yang kurang.
"Aku 'kan, udah lama nggak nulis adegan ranjang!" balas Mora meringis.
Sebelum menjadi penulis novel profesional, Mora dahulunya hanya menulis di platform kecil yang tidak menghasilkan uang. Walau begitu, Mora senang menulis di sana karena ia merasa karyanya dihargai. Juga banyak pembaca yang memberinya semangat di setiap komentar yang mereka tinggalkan. Sejak serius dengan profesinya, Mora mendapati bahwa ia mengalami perubahan dalam tulisannya. Dalam beberapa hal, Mora merasa ia mengalami banyak kemajuan. Akan tetapi, untuk adegan implisit, ia jadi kurang karena sudah lama tidak dilatih.
"Kamu perbaiki adegan ranjangnya aja. Aku ngerasa banyak kata berulang dan kalimat yang agak ambigu."
Mora menghela napas. "Deadline-nya kapan?"
"Karena kamu kayaknya stuck, aku kasih sampai tanggal 28 April."
"Oke." Mora mengerang. "Kok bisa aku revisi di situ sih? Apa aku perlu praktek dulu ya?"
"Ide bagus," celetuk Catherine asal. "Praktek aja, kalau bunting tinggal nikah."
Mora mendengkus saat ia menangkap nada sarkas dari cara bicara Catherine. "Ya udah, tunggu ya. Aku praktek dulu sama juragan sapi sini."
"Stres. Penulis Stres!"
Mora terkekeh mendengar cacian Catherine.
"Udah dulu ya. Aku tutup teleponnya. Ada rapat."
"Oke."
"Jangan asal praktek adegan ranjang kamu!"
"Nggak janji!"
"Si kampang!"
Mora tertawa. Catherine mengomel lagi sebelum akhirnya benar-benar memutus sambungan telepon. Tawa Mora lenyap setelah telepon ditutup. Matanya menatap laptopnya yang menampilkan naskah yang ia ketik dengan wajah malas. Mora malas sekali rasanya ingin merevisi naskahnya. Namun, ia juga tak bisa berbuat banyak. Demi menghasilkan novel yang sempurna, Mora harus menuruti ucapan Catherine. Tapi, sekarang Mora mau istirahat dulu. Lagi pula, ia ada janji makan malam dengan Sangga.
Perempuan itu menyimpan naskahnya dan mematikan laptop, kemudian segera mandi dan memilih pakaian yang cocok ia kenakan untuk makan malam. Mora memutuskan untuk mengenakan terusan satin putih bertali spageti dengan motif daun bambu yang panjangnya hanya sepaha. Ia juga mengenakan luaran berenda warna putih untuk menutupi lengannya di perjalanan menuju rumah Sangga nanti. Rambutnya dibiarkan terurau begitu saja, sedang Mora memutuskan untuk merias wajahnya sedikit lebih tebal dari biasanya.
Meski hanya makan malam di rumah dan hanya ada Sangga serta dirinya saja di sana, Mora tetap ingin kelihatan cantik. Mana tahu nanti Mora dapat kesempatan untuk praktek adegan ranjang bersama Sangga. Ia bahkan mengenakan celana dalam berenda yang cantik untuk jaga-jaga. Yah, tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi, 'kan?
Lagi pula, kalau memang terjadi, Mora merasa tak keberatan. Toh, supaya ia punya pengalaman dan bisa merevisi naskahnya dengan lancar. Perempuan itu bersenandung sambil memulas lipgloss ke bibirnya dan menyelipkan rambut ke telinga. Ia kelihatan cantik sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Romancing The Rancher
ChickLitSangga tahu kalau jatuh cinta pada Mora akan membuatnya menjadi bukan dirinya. Akan tetapi, mana sanggup Sangga mengendalikan hatinya yang entah sejak kapan selalu tertuju pada Mora?