Mora menyadari bahwa Sangga ternyata jauh lebih pintar memasak darinya. Sebenarnya, Mora sudah lama sadar, tetapi malam ini kepiawaian Sangga soal masak-memasak benar-benar ia tunjukkan lewat makan malam yang ia siapkan. Lelaki itu membuatkan daging sapi dengan bumbu cabai hijau dan sup sayur untuk makan malam mereka. Meski terkesan sederhana, tapi Mora tahu betul betapa repotnya menyiapkan dua jenis makanan itu.
"Wah, kamu pinter masak deh!" puji Mora kagum dengan senyum senang. "Kapan-kapan, kamu ajarin aku dong!"
Sangga merasa sedikit malu mendengar pujian Mora, tapi ia juga merasa senang. Walau begitu, ia tidak bisa menunjukkan perasaannya terang-terangan karena malu.
"Kamu 'kan, punya Kana. Dia jauh lebih pinter dari saya," ujar Sangga datar.
"Tapi, Kana suka marah-marah kalau ngajarin aku," adu Mora pada Sangga.
Tentu saja Kana emosi mengajari Mora. Perempuan itu kalau sudah belajar memasak, pasti membuat kacau dapur kalau tidak melukai dirinya. Mora juga agak ceroboh dan suka menumpahkan sesuatu di dapur. Jadi, wajar saja Kana sampai emosi karena kemampuan Mora benar-benar buruk. Perempuan itu menatap Sangga yang menatapnya dengan wajah kaku. Akan tetapi, Sangga tidak kelihatan seperti akan menolaknya.
"Nanti, saya ajarin kamu," ujar Sangga pelan.
Wajah lelaki itu sedikit merah. Apa Sangga senang karena pujian Mora? Perempuan itu jadi penasaran. Ia kembali memuji Sangga untuk mengetes reaksinya lagi.
"Es krim yang waktu itu juga enak. Kamu hebat, deh, bisa ngeproses susu sapi jadi es krim," puji Mora lagi. "Terus kamu juga kuat, bisa motong kayu. Kamu juga ganteng." Oh, Mora tidak bisa berhenti. "Sebenarnya, kamu punya kekurangan nggak, sih?"
Mora menatap Sangga lurus. Walau tidak mengatakan apa-apa, tapi wajah Sangga benar-benar merah sampai ke leher dan telinga. Perempuan itu mengulum senyum senang. Ternyata Sangga lemah juga kalau dipuji.
"Waktu kamu motong kayu, badanmu juga bag-"
"Mora." Suara Sangga bergetar saat ia menyebut nama Mora, menghentikan perempuan itu supaya berhenti memujinya. "Kamu berlebihan."
"Hehe. Habisnya kamu serba bisa. Suamiku emang paling hebat," kata Mora sambil terkekeh.
Sangga mengatupkan bibir rapat. Manik abu-abunya tertuju lurus kepada Mora. Ia tidak mengatakan apa-apa, tidak juga menolak saat Mora asal mengklaim bahwa Sangga adalah suaminya. Apa lelaki itu terlalu malu untuk bicara? Mora mengamati Sangga yang mencoba menenangkan dirinya. Perempuan itu terkekeh lagi.
"Saya buat puding susu buat penutup. Masih ada es krim juga." Sangga berusaha mengalihkan perhatian Mora.
Dan jelas berhasil, karena Mora langsung kelihatan tertarik pada puding dan es krim yang Sangga sebutkan. "Yeay! My baby boy is the best!"
Mora mengacungkan kedua jempolnya dengan senyum menawannya. Sangga kembali salah tingkah. Cepat-cepat ia alihkan tatapannya. Wajahnya masih terasa panas.
"Itu cuma puding sama es krim," kata Sangga lirih.
"Tapi, 'kan, buatan kamu."
Sangga tidak menyahut. Kalau bersama dengan Mora, setiap hal yang ia lakukan sangat diapresiasi oleh perempuan itu. Ia juga tidak ragu memujinya. Bukan Sangga tak pernah dipuji sebelum ini, hanya saja ia merasa agak canggung karena hal sekecil membuatkan puding saja dipuji oleh Mora. Sangga penasaran, lingkungan seperti apa yang Mora tinggali sampai ia sangat menghargai orang lain begini.
Setelah makan malam dan mengamati Mora melahap puding susu dan es krim buatannya (Sangga tidak terlalu suka makanan manis), Sangga membersihkan piring dengan dibantu oleh Mora. Sejujurnya, Mora tidak begitu tahu cara mencuci piring. Beberapa kali Sangga lihat Mora hampir menjatuhkan yang ia pegang. Lelaki itu diam-diam hanya tersenyum. Padahal sudah tiga tahun hidup jauh dari orang tuanya, tapi Mora masih belum begitu terbiasa dengan pekerjaan rumah. Yah, tangan Mora memang kelihatan sekali tidak cocok melakukan pekerjaan rumah. Tangannya kecil dan halus, lebih baik diam saja agar tidak terluka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Romancing The Rancher
ChickLitSangga tahu kalau jatuh cinta pada Mora akan membuatnya menjadi bukan dirinya. Akan tetapi, mana sanggup Sangga mengendalikan hatinya yang entah sejak kapan selalu tertuju pada Mora?