Desa Jatu terletak sekitar 300 kilometer dari Kota Parama. Lokasinya terletak di lembah gunung, masih asri dan hijau karena belum dihuni banyak manusia. Juga, jarang sekali ada masyarakat kota yang datang berlibur ke tempat itu karena belum tersohor namanya. Namun, kenyataan itu membuat Mora senang.
Putri kedua dari tiga bersaudara Wijanarko itu percaya jika sebaiknya orang kota tidak pernah menginjakkan kakinya ke Desa Jatu. Sebab mereka hanya akan merusak lingkungan dan pemandangan. Dan mungkin akan mengganggu kegiatan Mora dalam menggoda Sangga Pradipa, juragan sapi judes tapi ganteng bukan main di Desa Jatu.
"Ganteng! Kiw, kiw!"
Ya, lagi-lagi Mora mengganggu Sangga yang melewati halaman depan rumahnya. Pagi itu, seperti biasanya, Mora sedang menyiram bunga. Lebih tepat dikatakan, menyiram bunga itu adalah hanya kamuflase karena Mora menunggu Sangga lewat. Lelaki awal 30-an dengan tubuh tegap, wajah berkerut seakan marah dan tatapan tak bersahabat itu selalu lewat depan rumah Mora setiap pagi sambil membawa tas besar berisi botol-botol susu dari peternakannya.
Sangga pindah ke Desa Jatu tujuh bulan lebih awal sebelum Mora. Konon menurut penduduk desa, kedatangan Sangga sangat misterius. Tidak ada yang tahu kapan ia masuk ke rumah besar di ujung desa dan tidak ada yang tahu juga kapan sapi-sapi yang ia ternakkan dibawa masuk ke sana. Warga desa tahunya lelaki itu tiba-tiba saja sudah muncul di sekitar desa sambil membawa susu sapi yang katanya ia perah sendiri dari sapi ternaknya. Lelaki itu tak banyak bicara. Mulutnya seakan terkunci rapat jika ada yang bertanya dari mana asal lelaki itu.
Karena sikapnya yang misterius itu, beberapa penduduk desa sempat berkesimpulan bahwa Sangga mungkin anak orang super kaya, atau mantan napi kasus korupsi yang mengasingkan diri ke desa. Dua-duanya tak masuk akal, tapi sampai tahun ketiga Mora tinggal di Desa Jatu, masih saja ada yang menggosipkan rumor tak masuk akal itu.
"Loh, kok main pergi aja?" pekik Mora agak jengkel kala Sangga mengabaikannya dan malah melangkah lebar agar segera meninggalkan area rumahnya. "Botol susumu masih sama aku loh! Hari ini aku juga belum dapet susu!"
Sangga menghentikan langkahnya. Lelaki itu tampak menarik napas dalam-dalam sebelum memutuskan untuk berbalik dan kembali ke depan halaman Mora. Manik abu-abunya dengan dingin menatap wajah Mora yang menampilkan seringai konyol. Wajah Mora kelihatan segar meski tanpa riasan, tampak merona cerah dengan tatapan yang cemerlang. Perempuan itu punya kesan ramah dan menyenangkan karena ia jago bersosialisasi. Jangan lupakan senyum manisnya yang tampak polos dan ceria. Mora hampir merupakan pendatang terfavorit penduduk Desa Jatu.
"Berapa botol?" tanya Sangga rendah tanpa basa-basi.
Alisnya yang tebal sedikit bertaut. Mora tersenyum puas sambil berlutut sebentar untuk mengambil sebuah botol dari kaca yang ukurannya sekitar 800 mililiter itu. Botol itu merupakan botol milik Sangga. Botol kaca itu harus ditukar setiap membeli susu darinya karena membeli botol baru lumayan mahal dan Sangga pasti meminta ganti rugi jika botol susunya pecah. Lelaki itu tidak menggunakan botol plastik karena menurutnya botol plastik tidak terlalu bagus untuk menyimpan susu.
"Nih, sebotol aja," jawab Mora ringan sambil menyerahkan botol kaca kepada Sangga.
Sangga meraih botol kaca itu, memasukkannya dengan hati-hati ke dalam tas berbentuk kotak yang ia bawa dan mengeluarkan sebotol susu segar dari dalam sana. Kebetulan, itu adalah botol terakhir. Dan botol itu memang milik Mora karena Mora merupakan salah satu pelanggannya. Hanya saja, Sangga selalu merasa enggan jika harus mengantar susu ke rumah Mora. Yah, bagaimana tidak malas kalau baru lewat saja sudah digoda oleh perempuan itu?
"Uangnya seperti biasa bayar di akhir bulan," kata Sangga datar sambil menyerahkan sebotol susu segar itu kepada Mora.
Saat Mora menerima susunya, tanpa sengaja ujung jari mereka saling bersentuhan. Otomatis mata Sangga langsung melirik ke wajah Mora yang tampak tenang. Tangan Mora halus sekali, juga kecil dan dingin. Lelaki itu mengalihkan tatapannya dari Mora sesegera mungkin.
Karena masih pagi, Mora masih mengenakan gaun tidurnya yang berlengan pendek dengan panjang di atas lutut. Gaun tidur itu tampak mahal dan cocok dikenakan oleh Mora. Bagian dadanya tidak terlalu rendah, tapi juga tidak terlalu tinggi sehingga Sangga masih bisa melihat leher dan sebagian dadanya yang putih mulus. Masalahnya, Mora tidak mengenakan pakaian dalam dan Sangga tanpa sengaja melihat putingnya yang tercetak di sana.
Sial, Sangga harusnya tahu ia sebaiknya menjaga mata, karena Mora Wijanarko yang ia kenal itu sangat sembrono!
"Susumu udah abis, 'kan? Mau mampir nggak sebelum balik ke rumahmu?" tanya Mora sambil tersenyum.
"Nggak usah," jawab Sangga cepat tanpa menatap wajah Mora. "Saya mau langsung pulang aja."
"Yah, padahal baru aja mau minta susu ekstra," celetuk Mora membuat Sangga dengan cepat menatapnya. Perempuan itu tersenyum polos. "Susu yang itu."
Mata Mora menatap lurus ke bagian bawah perut Sangga, membuat lelaki itu melangkah mundur. Mora Wijanarko, pendatang terfavorit di Desa Jatu itu adalah orang mesum. Sangga tidak mengerti mengapa orang-orang desa bisa tertipu wajah polos dan senyum manisnya itu. Mora lebih sinting dari eksibisionis yang suka memamerkan alat kelamin mereka. Perempuan itu berani mendekatinya langsung, bahkan meski hanya ada mereka berdua di sebuah ruangan tertutup tanpa memikirkan konsekuensinya.
"Jangan ngomong yang nggak-nggak!" tegur Sangga setengah jengkel.
Mora tertawa ringan. "Kok nggak-nggak? Iya-iya, lah! Toh, yang di situ nanti masuk ke mulutku juga."
Bibir Mora tampak lembut dan merona, dan Sangga sejujurnya tidak berani membongkar sudah berapa kali ia mimpi basah karena bibir itu. Lelaki itu menggenggam pegangan tasnya erat dan segera memutar tubuhnya untuk meninggalkan Mora. Ia tidak mau berlama-lama dengan perempuan mesum itu. Suara tawa Mora masih terdengar merdu. Sangga selalu kesal mendengarnya, tapi ia tak bisa berbuat banyak.
"Hati-hati di jalan, Ganteng. Kalau mau diemut, langsung ketok pintu aja."
Sangga melangkah lebih lebar meninggalkan rumah Mora. Sementara, Mora masih tergelak selagi ia menatap punggung Sangga. Oh, lelaki itu benar-benar kaku. Ia mati-matian menyembunyikan ekspresinya sampai tengkuknya sendiri memerah.
Mora jadi semakin menyukainya.
SparklingDeer
24 April 2024Note:
Welcoming cegil gf yang needy x tabah bf yang "iya sayang", tapi kalo cewenya bandel dia garang bet. (Garang menyod- uh)
Jangat tertipu sama cover imutnya. Sengaja gue commis cover lucu ini untuk menutupi isi cerita yang macem cerita tante-keponakan 21+💀 ga bercanda. Tapi ini emang 🐜. Serius gue, ini ada adegan hohohihe jadi kalo nggak demen boleh pindah dulu.
Cerita ini ada tag mature ya. Udah pasti ini spicy karet dua (awas aja lo pake buat referensi malem pertama ye, gue gebukin. Harus gue duluan yg praktek sama laki 2D gue nanti🐒), udah pasti nggak cocok buat yang belum 21 tahun🗿.
Selamat membaca. Kalo mau baca duluan, ke karyakarsa ya. Kalo gak mau ke karyakarsa ya sabar, karena yang gratis nggak cepet. Tapi cerita ini tetep selesai di wp, palingan extra+side story doang yg gak gue publish di wp.
Oke selamat menghalu punya pacar kayak Sangga ya ges ya. Gue mau semedi dulu, nyari petunjuk kapan gue ditusuk-tusuk gojo satoru atau nggak ditusuk temennya deh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Romancing The Rancher
ChickLitSangga tahu kalau jatuh cinta pada Mora akan membuatnya menjadi bukan dirinya. Akan tetapi, mana sanggup Sangga mengendalikan hatinya yang entah sejak kapan selalu tertuju pada Mora?