Rumah terbesar di Desa Jatu adalah rumah yang Mora diami sekarang. Dulunya, rumah itu adalah milik sepasang kakek-nenek yang sudah lama meninggal. Lantas karena tak ada keluarga lain yang mendiaminya, rumah itu dijual dan bertemu dengan pemiliknya yang baru. Saat pertama kali membelinya, rumah itu cukup kokoh, tapi tampak tua dan kuno. Halamannya juga berantakan.
Maka, sebelum benar-benar tinggal di sana, Mora sempat memanggil desainer interior untuk membenahi bagian dalam rumahnya, juga halamannya. Atap yang bocor karena sudah lama tidak dirawat diganti dengan yang baru, sementara temboknya yang kotor dibersihkan dan dicat ulang. Mora memutuskan untuk tidak mengubah bangunannya. Ia hanya mengganti interior dan pagar depan yang menjadi pembatas rumahnya. Oh, juga perempuan itu menambahkan kolam renang di belakang rumah yang selalu digunakan Mora untuk melakukan pool party kecil-kecilan dengan dua sahabatnya.
Di sebelah kolam renang, terdapat juga ruangan yang dulunya merupakan gudang tua. Mora merenovasi gudang itu menjadi ruang gym pribadi, diisi dengan alat yang cukup lengkap. Desa Jatu tidak punya gym. Oh, jangankan gym, minimarket saja sulit. Kalau mau belanja ke minimarket, Mora harus pergi sekitar satu kilometer dari rumahnya untuk sampai ke minimarket. Makanya Mora hanya pergi ke sana satu bulan sekali untuk membeli barang-barang yang memang sulit didapat di toko milik warga sekitar atau di pasar tradisional.
Selain itu, tidak ada makanan-makanan kesukaan Mora di Desa Jatu, seperti steak, abalon, lobster atau bahkan pizza. Namun, untungnya Mora memiliki Kana Maheswari yang suka memasak dan Florina Maheswari yang tidak tahan kotor. Jadi, kalau Kana memasak, maka Florina akan berberes. Keduanya adalah sahabat Mora, merupakan kakak-beradik beda dua tahun. Awalnya, Mora akrab dengan Kana. Perempuan itu sempat merantau ke Kota Parama untuk mengenyam pendidikan.
Mereka satu kampus, sempat kerja magang di perusahaan yang sama sampai Kana terpaksa harus berhenti dan pulang kampung karena mendapat berita bahwa ibunya sakit. Tentu saja Mora ikut berhenti, karena ia mana sudi kerja di perusahaan orang lain sendirian. Sudah begitu, pegawai di sana bertingkah seenaknya karena ia cuma anak magang. Mereka hanya mulai sopan dan hormat pada Mora saat tahu Mora ternyata putri kedua dari keluarga Wijanarko.
Ah, kalau mengingat hal itu kembali, Mora jadi kesal.
"Udah selesai belom olahraganya? Rendang sapinya udah jadi loh!"
Suara Florine membuat Mora yang sedang menjeda kegiatan angkat bebannya, menoleh ke arah si perempuan. Seperti biasanya, Florine mengepang rambut panjang dan tebalnya, juga mengenakan terusan hijau pastel dengan motif daun. Mora sering merasa iri saat melihat bulu mata lentik Florine, tapi akhir-akhir ini ia sudah tak terlalu peduli. Pikirannya runyam karena naskah novelnya yang masih belum selesai.
"Bentar," ujar Mora dengan napas sedikit terputus. "Satu set lagi, aku ke ruang makan."
Florine mengangguk, tidak langsung pergi tapi malah mengamati Mora yang kembali melakukan kegiatan angkat bebannya dengan dumbel 20 kilogram itu dengan tenang. Saat pertama kali tiba di sini, Florine ingat Mora cuma sanggup mengangkat dumbel 2,5 kilogram. Yah, perempuan itu cukup kurus dulu. Juga kelihatan lesu dan kurang sehat.
Kini, Mora kelihatan seksi. Lengannya sedikit berotot, perutnya ramping dan bokongnya kencang berotot. Bahkan, bagian paha dan kakinya juga lumayan kekar karena Mora hampir setiap hari olahraga di ruang gym miliknya.
"Oh iya, Pak RT minta tolong ke kamu buat ngasih tahu Sangga, minggu ini ada kegiatan gotong royong buat bersihin selokan," ujar Florine.
Mora tidak langsung menjawab. Perempuan itu menyelesaikan kegiatannya, baru kemudian berbalik untuk menatap Florine dengan napas terengah.
"Gotong royong? Aku disuruh bantu masak juga?" tanya Mora masih dengan napas terengah.
"Nggak," jawab Florine cepat sambil menggeleng. "Cuma katanya, kalau kamu mau ikut, boleh ikut bikin minum."
KAMU SEDANG MEMBACA
Romancing The Rancher
ChickLitSangga tahu kalau jatuh cinta pada Mora akan membuatnya menjadi bukan dirinya. Akan tetapi, mana sanggup Sangga mengendalikan hatinya yang entah sejak kapan selalu tertuju pada Mora?