Jam beker kuno di nakas tempat tidur Sangga berdering nyaring. Lelaki itu dengan lambat mematikan deringnya dan bangun dari tempat tidur dengan mata setengah terpejam. Ia menguap, mengusap wajahnya sambil menarik napas dalam beberapa kali. Hari masih gelap karena baru pukul lima pagi sekarang. Tubuhnya terasa dingin, karena ia tidur dengan bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana pendek longgar yang nyaman.
Sangga menyalakan lampu meja, masih mengumpulkan niat untuk turun dari ranjang dan memulai aktivitas sehari-harinya. Cahaya lampu meja agak redup dan remang-remang, tapi Sangga merasa silau. Tangannya menyibak selimut yang menutupi tubuhnya. Matanya yang setengah terbuka tanpa sengaja melihat celananya yang menyembul dan sedikit basah dengan cairan asing yang agak kental.
Sebelum jam beker itu berdering nyaring, Sangga pikir ia sedang mimpi indah. Mimpi basah lebih tepatnya. Dan lagi-lagi, bintang dari mimpi basah itu adalah Mora Wijanarko, perempuan mesum yang sebisa mungkin ia hindari. Sangga mengerang rendah, merasa aneh karena sejak bertemu dengan Mora, ia sering mengalami hal ini.
Apa karena Mora selalu menggodanya dengan ujaran cabul?
"Sial," gerutu Sangga sambil bangun dari tempat tidurnya.
Sejenak, ia menyempatkan untuk memeriksa selimut dan sprei yang ia tiduri. Syukurnya, cairan semen dari celananya tidak menempel di sana. Sangga melangkah menuju kamar mandi sambil menggumam sendiri, mengomeli Mora yang bahkan tidak ada di hadapannya. Bagaimanapun juga, Sangga selalu merasa kesal pada Mora. Karena sejak bertemu dengan perempuan itu, ia merasa aneh.
Ah, sepertinya setiap pagi, Sangga selalu mengomeli Mora bahkan tanpa perempuan itu tahu. Ia menatap bayangannya di cermin selagi menggosok gigi. Rambutnya berantakan, wajahnya mulai ditumbuhi kumis dan jambang tipis yang harus segera ia cukur bersih dan bola mata abu-abunya itu menyorot tak bersahabat meski ia hanya diam. Sangga ingat ia dibenci setengah mati karena wajahnya. Kemudian, ia dipuja-puji saat orang-orang tahu statusnya.
Sangga pernah menjadi yang paling hebat dan cemerlang di antara yang lainnya, tapi kemudian ia memilih lari karena muak dengan bayangan yang turut mengikuti kecemerlangannya itu. Tidak semua yang terang dan bersinar itu ternyata menyenangkan. Makanya tiga tahun lalu, ia memilih meninggalkan semua yang ia miliki dan memulai hidup baru di Desa Jatu.
Walau begitu, Sangga tidak yakin apakah keputusannya tepat. Sebab, bertemu dengan Mora merupakan sesuatu yang luar biasa membuat kepalanya pening sampai ke tulang belakang. Itu hanya metafora saja, tetapi Mora memang membuatnya sakit kepala.
Oh, tidak! Sangga lagi-lagi memikirkan Mora. Ia benci saat kepalanya hanya dikuasai oleh bayangan perempuan berwajah polos tapi berhati cabul itu!
Dengan cepat, Sangga berhasil melupakan tentang perasaan pribadinya untuk Mora. Ia melanjutkan kegiatan paginya, bersiap-siap untuk mengantarkan susu yang ia olah sendiri ke penduduk desa yang memesan susu sapinya. Sangga biasanya mengantarkan susu dari rumah ke rumah dengan berjalan kaki, makanya ia selalu bangun lebih awal setiap jadwal ia mengantar susu.
Seperti pagi-pagi biasanya, Sangga menikmati udara segar di pagi hari selagi ia berjalan. Ia tak perlu khawatir soal lampu atau soal dirinya yang mungkin mengganggu pelanggannya dengan mengantar susu sepagi itu. Hampir seluruh penduduk Desa Jatu sudah bangun dan memulai aktivitas mereka pada pukul lima pagi, kecuali satu rumah besar yang halamannya ditanami berbagai macam bunga dan tumbuhan rempah-rempah. Tentu saja, ia adalah Mora Wijanarko, pelanggan setia susu Sangga yang paling menjengkelkan.
Karena Mora biasanya bangun pukul setengah tujuh, Sangga selalu mengantarkan susunya sekitar pukul tujuh. Pada waktu itu, Mora biasanya sedang menyirami tanaman yang ada di halaman rumahnya. Dan perempuan itu memang sudah ada di halaman depan rumahnya yang lumayan besar untuk ukuran rumah di Desa Jatu. Pagi itu, Mora kelihatan cantik sebagaimana Sangga pertama kali melihatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Romancing The Rancher
Literatura KobiecaSangga tahu kalau jatuh cinta pada Mora akan membuatnya menjadi bukan dirinya. Akan tetapi, mana sanggup Sangga mengendalikan hatinya yang entah sejak kapan selalu tertuju pada Mora?