27

1.4K 338 31
                                    

"Udah selesai?"

Sangga menatap Mora yang keluar dari kamar mandi. Perempuan itu mengenakan gaun tidurnya karena ia tak punya pakaian lain untuk dikenakan di dalam kamar. Lagi pula, hanya Sangga yang melihat. Rambutnya sudah kering. Mora mengeringkannya di kamar mandi, sengaja berlama-lama untuk mengulur waktu karena merasa agak cemas untuk berbicara dengan Sangga.

Tentu saja Sangga menyadari hal itu. Tidak mungkin tingkah Mora luput dari matanya. Ia mengamati Mora yang kelihatan lunglai. Kalau Mora bersikap begini, bagaimana caranya Sangga mempertahankan sikap tegasnya?

"Duduk," suruh Sangga dengan nada masih diusahakan dingin dan tegas. "Duduk di sana."

Sangga menunjuk tepi ranjang Mora, menatap sang perempuan yang menyeret langkahnya ke posisi yang ditunjuk Sangga. Mora dengan patuh duduk di sana tanpa mengatakan apa pun. Ini pertama kalinya Sangga melihat Mora begitu submisif padanya. Ia menarik napas panjang.

"Kamu tahu apa salahmu?" tanya Sangga rendah dengan nada lebih lembut.

"Maaf," bisik Mora halus, masih dengan kepala tertunduk. "Aku tahu kamu bakal anggap ucapanku ini cuma alasan, tapi beneran, aku lupa."

"Kenapa bisa lupa?" tanya Sangga lagi, lebih lembut.

Mora menggigit bibir, menelan ludah dengan kasar, kemudian menatap Sangga dengan mata bulatnya yang jernih. Sangga bisa melihat mata Mora sedikit berair. Bibirnya juga bergetar halus saat ia menjawab pertanyaan Sangga.

"Aku ... sebenarnya aku nggak mau kembali ke sini. Aku selalu nggak ngerasa diterima di kota ini. Juga, seperti yang kamu tahu, aku nggak punya hubungan yang baik sama keluargaku, terutama Papa," jelas Mora dengan nada lirih. "Biasanya aku nggak gampang lupa, tapi ... tapi saat aku merasa tertekan dan nggak suka sesuatu, aku pasti lupa satu hal dan bikin kacau." Wajah Mora kelihatan hampir menangis. "Dan sialnya, yang aku lupakan itu berhubungan sama kamu."

Sangga merasa bersalah sekarang. Mora sungguhan lupa dan tidak sengaja tidak memberi tahu soal keberangkatannya. Sangga jadi tak enak hati karena berpikir jika Mora menganggap enteng dirinya. Setelah mendengar penjelasan Mora yang kelihatan gemetar dan hampir menangis, Sangga memahami bagaimana perasaan Mora. Ia tidak mengerti keadaannya, tapi ia paham bagaimana perasaan Mora.

Perempuan itu cukup kalut dan tertekan sampai ia kelihatan begitu rapuh. Sangga menarik napas panjang, memutuskan untuk duduk di sebelah Mora dan menarik perempuan itu ke dekapannya.

"Di sini terlalu berat buat kamu, ya?" tanya Sangga lembut sambil mengelus rambut Mora.

Perempuan itu tidak menjawab. Sangga bisa merasakan bahunya sedikit bergetar. Kemudian, ia mendengar isakan pelan dari Mora. Pertanyaan Sangga tepat sasaran, membuat Mora yang tertekan jadi menangis lagi.

"Aku ... nggak suka di sini," rintih Mora teredam.

"Aku tahu. Kamu mau pulang ke rumah sama aku?" tawar Sangga dengan nada menghibur sambil menepuk-nepuk punggung Mora sayang.

Air mata Mora membanjir lebih banyak dari kemarin. Pertanyaan Sangga membuatnya merasa lega campur putus asa. Lega karena mengetahui bahwa ia punya rumah untuk pulang saat ia merasa terkucilkan, dan putus asa karena tak bisa segera pulang bersama Sangga.

"Nggak bisa," isak Mora terdengar putus asa. "Aku mau ... tapi nanti Kak Verdion ... Kak Verdion marah-marah kalau aku nggak ada di resepsi pernikahannya."

Sangga sudah tahu hal itu. Ia sudah mendengarnya lewat telepon bersama Kana kemarin. Ia mengecup puncak kepala Mora, mengeratkan pelukannya pada tubuh sang perempuan.

"Iya, nggak apa-apa. Aku temani kamu di sini biar kamu nggak kesepian, hm?"

Mora mengangguk, tidak mau tahu lagi tentang hal lain. Ia memeluk Sangga erat sambil melampiaskan hatinya yang tercekik. Mora merasa sangat sedih, tapi juga sangat aman karena berada dalam dekapan Sangga. Ia masih takut jika Sangga akan menatapnya seperti keluarganya menatap dirinya, tetapi ia juga tak mau kehilangan Sangga. Mora rasa, ia sudah berada pada titik tidak bisa hidup tanpa Sangga. Itu mengerikan, tapi juga membuatnya berharap bahwa Sangga akan selalu bersamanya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 19 hours ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Romancing The RancherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang