3

5.6K 530 31
                                    

Sangga merenggangkan ototnya yang terasa linu. Ia lelah dan lapar. Matahari sudah bersinar terik, tapi angin yang berhembus membawa kesejukan bersama dengan aroma rumput yang tajam. Dua belas ekor sapi dewasa dengan tiga ekor sapi kecil yang ia ternakkan sudah ia beri makan dan minum. Juga, ia membersihkan kandang sapinya karena sudah tiga hari belum sempat ia bersihkan.

Meski demikian, aroma kotoran sapi di kandang masih begitu menyengat. Sangga khawatir jika aromanya akan sampai ke pemukiman warga walau kandang sapinya berada di ujung desa dan hampir jauh dari pemukiman. Lelaki itu menarik napas panjang sambil membawa tas berisi perkakasnya kembali ke rumah. Karena Sangga tidak mau terganggu dengan aroma kotoran sapi, jarak rumah dan kandang sapinya berjarak sekitar 50 meter. Cukup jauh, tapi tidak terlalu jauh juga bagi Sangga. Ia tidak keberatan berjalan mondar-mandir dari rumah ke kandang sapi.

Kalau bagi Mora mungkin jauh, mengingat perempuan itu tidak suka berjalan meski ia suka angkat beban... ah! Kenapa Sangga memikirkannya?

Lelaki itu setengah membanting tas perkakasnya di garasi rumah saat ia tiba di sana. Garasi itu diisi peralatan kerjanya dan sebuah mobil dengan model cukup tua. Juga ada sepeda yang jarang Sangga gunakan. Sangga duduk di atas kotak kayu yang terbalik, melepaskan sepatu botnya yang kotor sambil mengomel dalam hati.

Tidak ada angin, tidak ada hujan, ia sudah memikirkan Mora saja. Apa karena tadi pagi, Sangga benar-benar panik usai digoda perempuan itu? Sangga menarik napas panjang sambil geleng-geleng. Berkat Mora, seonggok daging di tengah selangkangannya benar-benar mengeras selama ia berjalan pulang ke rumah.

Wajah, tubuh dan suara Mora terngiang-ngiang di kepalanya, menghantui Sangga sampai ia merasa pusing dan sesak napas. Uh, Sangga tidak mengerti. Ia yakin ia sangat jengkel pada Mora, tapi kenapa pikirannya tak bisa melepaskan Mora? Kenapa juga Sangga selalu goyah dan gentar setiap ia menghadapi godaan Mora? Ia bukan lelaki polos yang mudah diganggu.

"Baby boy! Sangga~!" Suara mengayun merdu yang ceria tapi menggoda itu membuat Sangga tersentak.

Apa Mora tahu bahwa ia barusan memikirkannya? Apakah Mora datang kemari karena itu?

"Ganteng!" Suara Mora terdengar lagi. "Suamiku, kamu di mana? Aku bawa makan siang, nih!"

Sangga menggeleng cepat, menghilangkan pikiran konyolnya. Mora bukan dewi, mana mungkin ia bisa tahu isi pikirannya. Juga, kalau Mora memang dewi, ia harusnya jadi dewi cabul, karena satu-satunya yang indah dari Mora hanyalah fisiknya. Sisanya kacau dan cabul.

Lelaki itu buru-buru mengganti sepatunya dengan sandal, lalu melangkah lebar keluar dari garasi untuk menemui Mora. Angin sejuk berhembus kembali, menyebarkan aroma ceri bercampur mawar dari tubuh Mora. Rambut sebahunya dikuncir setengah, sedang yang terurai melambai-lambai ditiup angin. Mora mengenakan terusan selutut berlengan pendek warna pink muda dengan motif bunga berwarna merah menyala.

Pergerakan Mora entah mengapa terasa lambat dan dramatis. Wajahnya dirias tipis, tidak seperti tadi pagi. Pipi bulatnya terangkat tinggi, sedang senyum manis yang indah itu terkembang di bibirnya. Sangga menelan ludah. Mora cantik sekali. Mirip peri yang bersembunyi jauh di dalam hutan dan hanya keluar seribu tahun sekali. Perempuan itu mendekatinya dengan langkah riang.

"Ah, kamu di sini! Dari mana aja? Selingkuh, ya?" Mora tersenyum awalnya, tapi selanjutnya mengubah ekspresinya menjadi ekspresi curiga dibuat-buat dengan mata menyipit. Persis seperti istri yang curiga pada suaminya.

Sangga panik lagi saat menyadari bahwa ia merasa bagai menjadi suami yang dicurigai Mora. Ayolah, ia tidak mungkin menjadi suami Mora!

"Cuma ada sapi di sini!" ketus Sangga sedikit mengomel.

Romancing The RancherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang