21

3.5K 369 16
                                    

Mora merasa mual. Otaknya juga bagai kosong. Perasaan mengganjal tertimbun di hatinya. Sejak Catherine pergi, Mora hanya berbaring diam di atas kasur sambil memejamkan mata. Dalam hati, ia berharap jika waktu berputar lambat agar Armand tidak segera muncul untuk menjemputnya. Apa daya, Mora harus segera bersiap saat melihat jam dinding di kamar hotel menunjukkan pukul empat tepat.

Mora mengganti gaun tidurnya dengan terusan lengan pendek selutut warna biru muda. Rambutnya ia kuncir satu dengan rapi. Tak lupa ia kenakan riasan tipis. Makan malam dengan keluarganya malam ini tidak mungkin di rumah, mengingat Armand sampai menjemputnya. Mora yakin mereka akan makan di restoran fine dining kesukaan papanya dan mungkin calon istri Verdion juga berada di sana.

Helaan napas berat dari bibir Mora kembali berembus untuk kesekian kalinya. Perempuan itu enggan sekali pergi menemui papanya. Selain ia merasa canggung, ia juga yakin papanya hanya akan mengkritik pilihan hidupnya. Mora memijat keningnya, melirik jam dinding di kamar sekali lagi yang kini sudah menunjukkan pukul empat lewat lima puluh menit. Oh, Mora benar-benar menghabiskan lima puluh menit untuk bersiap-siap.

Perempuan itu meraih tas tangan yang ia bawa, mengisinya dengan dompet dan ponselnya. Mora sempat memeriksa layar ponselnya. Ada banyak notifikasi dari Kana dan Sangga, tapi Mora tak sempat membukanya karena Armand sudah tiba. Bel pintu kamarnya berbunyi, membuat Mora langsung berjalan menuju pintu dengan kaku. Ia akan memerika notifikasi dari Sangga dan Kana nanti. Saat ini, ada yang hal lain yang harus ia hadapi.

"Maaf saya agak terlambat, Non," kata Armand saat melihat Mora keluar dari kamarnya.

"Masih sepuluh menit lagi sebelum jam lima. Makan malamnya nggak mungkin jam lima sore, 'kan? Papa cuma minta aku datang di waktu itu," sahut Mora dingin dengan wajah kaku.

Armand mengangguk. "Iya. Pak Adi nyuruh saya bawa Non Mora ke lokasi lebih dulu buat menghindari macet. Beliau mungkin datang lebih lambat karena masih rapat sekarang."

"Oh." Mora hanya membalas singkat dengan wajah tak tertarik.

"Kalau begitu, Non, mari ikut saya ke mobil."

Mora mengangguk, mengikuti Armand menuju mobil. Tidak ada kata terucap sepanjang perjalanan dari depan kamar sampai ke lobi hotel. Bahkan di dalam mobil pun, keduanya sama sekali tidak membuka mulut. Jalanan Kota Parama seperti biasanya jelas padat dan macet setiap waktu pulang kerja. Sepanjang perjalanan, pemandangan yang Mora lihat hanyalah kendaraan yang berderet dan merayap pelan di jalan. Belum juga satu hari Mora kembali, tapi ia sudah muak melihat pemandangan ini. Sudah begitu, perutnya makin mual karena gugup.

"Gimana caranya hotel tempatku menginap bisa kasih laporan ke Papa?" tanya Mora memecah keheningan di dalam mobil.

Armand yang sedang menyetir melirik Mora dari cermin mobil. Lelaki itu dengan wajah datar menjawab, "Alris Hotel diakusisi Damai Lestari Group tahun lalu. Pak Adi ngasih perintah ke seluruh hotel milik Damai Lestari Group untuk lapor ke dia kalau-kalau ada nama Non Mora nginep di sana."

Sepertinya, bisnis papanya jadi semakin besar sejak terakhir Mora tinggalkan. Yah, baguslah. Bukankah papanya memang mau memperluas bisnis Damai Lestari Group? Mora menarik napas panjang, menatap keluar kaca mobil lagi dengan malas. Wajahnya datar, cenderung tampak kaku dan dingin, tapi perasaan dalam hatinya sama sekali tak karuan. Mora merasa gugup, cemas dan perasaan janggal yang ia rasakan sejak tiba di Kota Parama masih terselip di seluk hatinya. Ah, apa sesuatu yang buruk akan terjadi?

Mora bukan jenis perempuan yang firasatnya kuat seperti Kana. Ia kadang tidak bisa mempercayai dirinya sendiri. Hanya sejak pindah ke Desa Taju saja, Mora merasa lebih percaya diri dan yakin bisa melakukan semuanya sendiri.

Romancing The RancherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang