Mora baru saja keluar dari kantor penerbitnya saat ia melihat sosok Armand yang menunggu di lobi. Lelaki itu seperti biasa rapi dengan kacamata bingkai hitam di hidungnya yang bertulang tinggi. Wajahnya yang sempat datar langsung membentuk senyum profesional khas seorang pekerja begitu ia melihat Mora. Dengan langkah mantap yang seakan sudah diperhitungkan setiap tapaknya, ia mendekati Mora.
"Non, saya diminta sama Pak Adi untuk jemput. Kali ini, ada tujuannya," ujar Armand tenang membuat Mora ingin menendangnya.
Uh, Mora tidak bisa menahan diri. Ia memang tidak menyukai Armand. Entah itu karena ia selalu membawa kabar buruk untuk Mora, atau karena wajahnya yang terlalu menyebalkan meski ia sangat menjaga sikap. Perempuan itu menghela napas panjang.
"Kali ini, apa lagi?" tanya Mora malas.
"Pak Adi sudah bikin jadwal pertemuan antara Non Mora dengan anak temannya. Nama laki-laki itu-"
"Stop, sampai di situ," potong Mora cepat.
Percikan rasa marah sedikit menyambar hatinya. Oh, papanya benar-benar tidak bisa melihatnya senang.
"Aku nggak mau pergi," desis Mora tajam.
"Sayangnya, Non Mora harus pergi. Pak Adi bilang, saya boleh menyeret Non Mora kalau menolak."
Mora mengatupkan bibir, menatap Armand dengan wajah masam. Lelaki itu masih tetap memasang ekspresi tenangnya. Ia menarik napas panjang, mencoba meredam rasa geram yang membludak dalam dada. Uh, Mora tidak bisa meneriaki Armand, terutama karena lelaki itu jauh lebih tua darinya meski wajah mereka kelihatan seperti tidak terlalu beda jauh umurnya.
Ia harus tenang dan rasional di saat seperti ini. Tantrum hanya akan membuat papanya semakin menjadi-jadi. Dengan malas dan penuh rasa enggan, Mora akhirnya terpaksa mengikuti Armand untuk menemui anak teman papanya itu.
Seperti yang Mora duga, anak kenalan papanya sama sekali tidak lebih tampan dari Sangga. Lelaki itu tampak berusia beberapa tahun lebih tua darinya. Mora tidak mau peduli detail yang lain. Ia langsung duduk di hadapan lelaki itu sambil tersenyum malas.
"Kamu anak kenalan papaku?" tanya Mora langsung.
"Iya, aku-"
"Maaf. Aku ke sini bukan untuk itu. Aku juga nggak bisa dijodohkan sama kamu." Mora berujar cepat.
Lelaki itu terdiam, menatap Mora bingung, terkejut dan juga tertarik. "Kenapa?"
"Aku sedang hamil." Mora tidak sedang hamil, tapi karena sudah kepalang geram, kenapa tidak ia sebarkan gosip saja?
Lelaki itu langsung berubah wajahnya, dari yang tadinya tertarik langsung menjadi kaku. Mora memberi senyum simpul.
"Aku nggak mau buang waktumu, tapi aku juga nggak berani ngasih tahu soal keadaanku ke keluarga," kata Mora dengan nada sangat meyakinkan, kelihatan sedih dan pasrah. "Maaf karena sudah buang-buang waktumu."
"Aku mengerti," kata lelaki itu tenang. "Kamu nggak perlu minta maaf."
Mora mengangguk kecil. "Karena nggak ada lagi yang harus kuomongin, aku izin pergi dulu."
"Ya. Silakan."
Mora segera bangun dari kursinya, meninggalkan lelaki itu dengan wajah datar. Kalau papanya mau bersikap keras kepala, maka Mora akan melakukan yang lebih gila. Ia hanya tinggal menunggu kabar bahwa ia sedang hamil sampai ke telinga papanya. Mora memang sengaja tidak mengatakan pada lelaki yang tak ia tanyai namanya itu agar merahasiakan kehamilan bohongannya itu. Yah, biar saja. Biar seluruh rekan papanya tahu, dan papanya tidak bisa menjodohkannya sembarangan seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Romancing The Rancher
ChickLitSangga tahu kalau jatuh cinta pada Mora akan membuatnya menjadi bukan dirinya. Akan tetapi, mana sanggup Sangga mengendalikan hatinya yang entah sejak kapan selalu tertuju pada Mora?