Satu

214 19 0
                                    

Asyifa berjalan santai menuju indekosnya. Rapat di organisasi ekstrakampus yang diikutinya selesai cukup awal. Tidak sampai tengah malam. Jarak dari markas ke rumah singgah selama kuliah itu pun tidaklah terlalu jauh.

"Syif! Nggak diantar si akang?!"

Seruan tersebut membuat Asyifa menoleh ke arah rumah dengan pagar terbuka. Seorang laki-laki berusia kisaran dua puluh tahun, berdiri berkacak pinggang menatap Asyifa.

"Enggak, Mas." Asyifa menghentikan langkah. Ia lalu berjalan menuju seniornya itu. "Eh, kenapa nggak datang rapat sih, Mas."

"Tugas presentasi belum kelar," jelas Nando, kakak tingkat Asyifa.

Asyifa berdecak kesal. "Kalau ada Mas Nando kan, aku nggak usah maju."

Nando tertawa. "Kaderisasi, Syif. Masa aku di BEM lagi? Gila jabatan itu namanya."

"Ah, sudahlah. Para senior emang kejam." Asyifa dengan kesal berlalu dari hadapan Nando. Laki-laki itu hanya tertawa mendapati tingkah Asyifa.

Lima menit kemudian, Asyifa sudah tiba di depan kos. Tangannya merogoh saku tas punggung, mencari kunci gerbang kos. Indekosnya adalah tipe rumah yang tidak memiliki induk semang. Pemilik menyerahkan semua kepada anak kos untuk mengaturnya. Sekalipun begitu, rumah kos yang ditempati Asyifa bukanlah indekos yang bebas. Tamu laki-laki hanya boleh bertamu sampai jam sembilan malam dan tentunya dilarang masuk ke dalam rumah, cukup di teras saja.

Saat Asyifa berhasil membuka gembok, terdengar teriakan dari balik pagar.

"Mbak Syif!" pekik Hana, adik kos Asyifa. Gadis bertubuh langsing itu buru-buru berjalan mendekat ke arah kakak kosnya.

"Mau ke mana malam-malam?"

"Beli nasi goreng, Mbak. Aku kelaparan." Hana langsung menggamit lengan Asyifa. Hal itu membuat bingung gadis berkacamata tersebut.

"Eh, aku baru nymape ini, Han."

Hana tidak memedulikan penolakan Asyifa. Ia terus menarik tangan mahasiswa semester lima tersebut.

"Ikut aja, aku punya kabar yang luar biasa penting buat Mbak."

Hana menutup pagar. Di belakangnya, Asyifa tampak kebingungan. Ia jadi tertarik karena kalimat yang diucapakan adik kosnya itu. Hana memang pandai membuat Asyifa penasaran dengan ucapan-ucapannya.

"Kabar apa?"

"Nanti di sana aja."

"Nggak usah bikin penasaran gini, deh."

"Cie ... tadi ogah ikut," goda Hana.

Mereka lalu menuju gapura gang, tempat penjual nasi goreng gerobak mangkal. Setelah memesan, Hana menarik kursi plastik, lalu duduk di samping Asyifa.

"Mbak tau, nggak?" Hana memulai bercerita.

"Nggak taulah, Han. Kamu kan, belum cerita," cetus Asyifa ssembari memainkan ponselnya.

"Ish, aku belum selesai ngomong, Mbak."

"Oke lanjutkan." Asyifa mengalihkan pandangan dari layar ponsel. Nada bicara Hana tadi terdengar serius. Asyifa pun semakin dibuat penasaran saja.

"Mas Ridhanu maju di pemilu raya kali ini, Mbak," ungkap Hana dengan antusias. Pemilu raya yang dimaksud Hana adalah event satu tahun sekali untuk memilih Ketua BEM tingkat fakultas dan universitas. Waktu penyelenggaraannya saat liburan semester genap.

Asyifa mendesah pelan saat mendengar nama kakak tingkat Hana disebut.

"Udah biasa, 'kan? Tiap tahun juga maju."

"Adududu, beda yang ini. Bukan di fakultas lagi, Mbak." Nada bicara Hana terdengar penuh penekanan.

"Oh, ya? Nyalon ke legislatif apa eksekutif?" tanya Asyifa berusaha untuk terlihat tidak terlalu antusias. Ia sedang menghapus dari pikiran dan hatinya tentang nama laki-laki yang diceritakan Hana tersebut. Bayangannya, Ridhanu akan melanjutkan ke tingkat legislatif sesuai dengan keikutsertaan tahun lalu. Tidak masalah jika dia maju, dirinya tidak akan bertemu dengan laki-laki yang telah memorakporandakan perasaannya itu.

"Ke eksekutif, BEM Universitas. Makin keren kan, kakak tingkatku itu? Dia bakal jadi presiden mahasiswa, Mbak."

"Hah, Apa?!"

Asyifa sungguh tercengang mendapati Ridhanu juga sama seperti dirinya, mencalonkan diri ke BEM Universitas. Jika sama-sama lolos, mereka akan tergabung dalam satu organisasi. Asyifa menghela napas dalam-dalam. Ia tidak bisa membayangkan jika harus sering bertemu dengan Ridhanu.

"Mbak kenapa kaget gitu?" Hana menautkan kedua alis mata.

Asyifa menundukkan wajahnya. Tubuhnya mendadak lemas. Berita yang diceritakan Hana akan menjadi mimpi buruk baginya jika memperoleh hasil yang memuaskan saat pemungutan suara.

"Aku nggak boleh menang di pemilu raya nanti." Asyifa mengentakkan kaki. Kali ini tingkahnya mirip anak kecil yang tidak dituruti permintaannya.

"Hubungannya apa sama Mas Ridhanu? Emang Mbak nyalon lagi?" Hana mulai bingung.

Asyifa manggut-manggut. Raut wajah gadis itu tampak memelas. "Ke BEM Universitas."

"Apa?!" Hana yang tidak kalah terkejut mendengarnya sampai berdiri, hingga penjual nasi goreng menoleh ke arah mereka. Ia saja yang hanya menjadi saksi hidup kisah Asyifa dan Ridhanu, bisa membayangkan suasana canggung yang akan terjadi di BEM nanti jika mereka sama-sama terpilih.

"Kenapa dia harus nyalon ke BEM, sih? Kenapa nggak milih senat aja kayak sebelumnya?" Asyifa berdecak kesal.

"Mana paham aku, Mbak. Yang sabar, ya."

Hana menepuk bahu Asyifa dengan lembut. Kisah cinta yang dialami kakak kosnya itu memang cukup menggelitik. Hana bisa membayangakan bagaimana suasana yang terjadi jika mereka berdua tergabung dalam satu organisasi yang sama. Canggung!

***

Kabar buruk yang dibawa Hana, membuat Asyifa mulai merengek kepada Bima—seniornya yang sekaligus menjadi ketua Ikatan Mahasiswa Gemilang, organisasi ekstrakampus yang diikutinya. Ia bersikukuh ingin mundur saja dari pencalonan. Bertemu Ridhanu dalam satu 'rumah' adalah mimpi buruk saat ini.

"Kang, aku beneran mau fokus kuliah. Libur dulu jadi aktivis."

Asyifa yang duduk di samping Bima, menangkupkan kedua tangan dengan posisi tubuh menghadap pemuda yang sedang fokus di depan laptop itu.

"Nggak boleh. Udah disepakati forum," ujar Bima dengan tatapan tidak beranjak dari layar.

"Akang yang maksa aku maju. Aku nggak mau, kan. Dari awal mau di fakultas aja."

Bima menoleh ke arah gadis di sampingnya. Posisi duduknya sedikit diputar hingga menghadap Asyifa yang juga duduk sedikit menyamping.

"Kader Ikatan Mahasiswa Gemilang pantang menolak tugas."

Asyifa mencebik kesal. Bibir bawahnya pun dimajukan. Kaki juga ikut dihentakkan di bawah meja. Kalimat andalan Bima setiap ada yang tidak bersedia diberi amanah.

"Ini Asyifa Rania kader militan IMG bukan?"

Asyifa menggelengkan kepala dengan cepat. Wajahnya semakin muram saja. "Pokoknya mau mundur."

Bima menghela napas pendek. Ia paham makna gerak tubuh dan ekspresi wajah dari sahabatnya itu. Asyifa kini tengah merajuk. Namun, dirinya harus bisa menempatkan diri. Perihal pencalonan di pemilu raya adalah urusan organisasi bukan masalah pribadi.

"Kenapa, sih, Neng? Tumben banget nggak pingin nyalon. Masih semester lima juga. Sayang banget kalau sampai dilepas kesempatan ini. Semester tujuh entar tinggal fokus aja sama skripsi. Tahun ini puas-puasin jadi aktivisnya."

Wajah Asyifa masih terlihat masam. Ia memalingkan wajah ke arah berlawanan karena Bima tengah menatapnya. Tidak mungkin juga dirinya jujur tentang alasan yang membuatnya ingin keluar dari pencalonan. Sekalipun gadis itu dekat dengan Bima, tetapi perihal perasaanya kepada Ridhanu ditutupnya dengan sangat rapat. Hanya Hana saja yang paham kisah tersebut, dan Ridhanu juga tentunya.  

ROMANSA PERTAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang