Dua Puluh Dua

50 6 0
                                    

Asyifa mulai gelisah. Ia tadi sudah komunikasi dengan Bima untuk minta dijemput. Namun, sambungan telepon berakhir tanpa jawaban. Gadis itu tertunduk, ia tidak bisa membayangkan harus berjalan sendirian menuju indekos. Prediksinya, Bima tengah tertidur jika dirunut dari terakhir chat mereka. Sahabatnya itu tengah berada di kamar. Apabila sudah bertemu kasur, Bima gampang sekali terlelap.

"Ada apa?" tanya Ridhanu begitu kembali dari kasir. Ia heran mendapati wajah gelisah Asyifa.

Asyifa terperanjat mendengar suara Ridhanu. "Eh, nggak ada, Mas."

"Oh, oke." Ridhanu mulai berbicara empat mata. "Gini, ya, Syif. Kamu, kan, ambil konsumsi dari ibumu. Apa bisa tepat waktu datang ke lokasi? Maksudnya, jarak Pujon-Malang jauh, loh."

"Insya Allah bisa, Mas. Ibu sanggup, bahkan sudah nyicil beli bahannya."

"Oh, begitu. Pokoknya aku minta komitmenmu, harus profesional sekalipun itu ibu sendiri."

Asyifa mengangguk mantap. Sebenarnya, Asyifa berpikir jika lebih efektif dan efisien jika memesan yang dekat dengan kampus. Ibunya sedang butuh pemasukan karena gagal panen sayur. Akhirnya, ia pun menawari sang ibu untuk menyiapkan konsumsi silatnas.

Asyifa kembali gelisah. Waktu pada ponselnya telah menunjukkan pukul 22.15 WIB. Ia kembali menelepon Bima, tetapi nihil, tidak ada jawaban. Asyifa pun mencoba menghubungi salah satu temannya yang satu kontrakan dengan sahabatnya itu.

"Lagi pules, nih, Syif."

Asyifa mendesah kecewa. Sangat sulit membangunkan Bima jika tengah tertidur nyenyak.

"OKe, Do. Makasih, ya." Asyifa mengakhiri sambungan telepon.

"Kamu dijemput Bima?" tanya Ridhanu yang sedari tadi memperhatikan raut wajah gelisah sekretarisnya tersebut.

Gadis berkerudung biru tua itu menggeleng. Sorot matanya penuh kekhawatiran.

Ridhanu paham apa yang dipikirkan sekretarisnya itu. "Aku antar pulang."

Asyifa tercengang mendengar tawaran Ridhanu. Ia bahkan mengerjapkan mata bebebrapa kali, sekadar memastikan bahwa tawaran yang ditujukan kepadanya itu tidak salah. Asyifa sedikit ragu jika kalimat tersebut bisa keluar dari bibir orang yang pernah bersikap dingin terhadapnya itu.

"Ngantar aku?" Asyifa menunjuk dirinya sendiri.

Ridhanu mengangguk sambil beranjak menuju tempat parkir. "Aku tunggu di depan."

Asyifa mengangguk pelan dengan raut yang masih terkejut. Ia lalu memegang dadanya. Detak jantungnya sudah tidak normal lagi, bertambah kecepatannya. Asyifa bingung, antara senang dan takut.

"Tenang, Asyifa. Tenang, dong. Jangan baper. Dia cuma mau ngantar ke kos bukan ke KUA." Asyifa pun segera menyusul Ridhanu ke depan.

"Kamu pernah ke sego babat yang di Suhat, Syif?" tanya Ridhanu saat Asyifa sudah sampai di tempat parkir.

"Pernah, yang buka malam-malam, itu, kan?"

Ridhanu mengangguk cepat. "Ayo ke sana. Mau nggak?"

Asyifa kembali dibuat tersentak. Laki-laki itu semakin ke sini penuh kejutan juga. Hatinya mulai menghangat. Gadis itu pun terdiam, tidak tahu harus menjawab apa.

"Nggak mau, ya?" tanya Ridhanu sekali lagi.

"Eh ... mau, Mas," jawab Asyifa salah tingkah.

"Oke. Ayo."

Asyifa menunggu Ridhanu menyalakan mesin motor, baru dirinya naik ke atas motor. "Udah, Mas."

Motor pun berjalan meninggalkan café. Senyuman mulai mengembang di bibir Asyifa. Ia lalu menepuk dahinya karena menyadari tingkahnya sendiri yang sedang malu-malu.

ROMANSA PERTAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang