Sembilan

35 6 0
                                    

Tidak lama kemudian, Bima muncul dengan motornya, kemudian berhenti di tepi jembatan yang di bawahnya mengalir sungai besar. Tangannya melambai ke arah Asyifa, memintanya segera naik ke motor. Gadis bertubuh langsing itu berlari kecil.

"Udah, Kang." Asyifa duduk di belakang Bima.

Motor pun melaju keluar gerbang kampus. Jalan raya masih terlihat ramai lancar. Mereka menuju kawasan Tirto, daerah dengan lalu lintas padat yang berjarak lima puluh meter dari kampus. Namun, saat seharusnya melewati gang indekos Asyifa, Bima tidak berbelok.

"Loh, Kang. Aku mau diculik ke mana ini? Kosku gang dua. Masak lupa?" Asyifa memukul punggung Bima berkali-kali. Bima tergelak mendapati tingkah gadis itu.

"Laper, Neng. Tadi belum makan malam, nih."

"Huuuu, ngomong kek, dari tadi."

Bima melajukan motor ke dekat gang enam. Motor matic itu berhenti di depan warung lalapan yang terkenal dengan sebutan Lalapan Bengkel. Sambal bawang cabai hijau warung itu begitu melegenda di lidah mahasiswa.

"Pesen apa, Neng?"

"Udah makan tadi maghrib. Bungkus aja, loh. Udah jam sepuluh lewat ini."

"Biasanya juga pulang malam. Sama Bima ini, apanya yang dikhawatirkan?"

Asyifa mencebik. Bima malah mengedipkan mata. Asyifa pun terkekeh pelan. Ia selalu nyaman jika bersama pemuda yang pandai beretorika tersebut. Satu hal ini yang membuat Asyifa bertahan dengan mengesampingkan rasa sakit. Mereka berkenalan sejak Asyifa baru menjadi mahasiswa dan mulai dekat saat sama-sama di Ikatan Mahasiswa Gemilang.

"Mas, jangan lupa lalapannya terong mentah ya, sama timun dan kemangi juga," pesan Bima pada penjual. "Kubis juga, banyakin dikit."

"Sekalian, Mas, tambahi daun jeruk, daun salam, lengkuas utuh. Biar dilalap semua," celetuk Asyifa.

Penjual itu tersenyum mendengar celoteh Asyifa. Bima mendorong kening Asyifa dengan jari telunjuknya. Adik tingkatnya itu tampak mengaduh pelan.

"Gimana rapat perdana tadi? Neng tetap jadi sekretaris, 'kan?"

"Yes, as your wish. Kenapa aku harus jadi sekretarisnya Ridhanu, sih, Kang? Sebel!"

"Lha, itu kan, udah perjanjian politik dengan partai pengusungnya. Lupa?"

Asyifa menggelengkan kepala. Hatinya masih jengkel dengan aturan dilarang cinta lokasi tadi. Ia sangat yakin, jika aturan itu dibuat dan ditujukan khusus untuk dirinya. Akal-akalan seorang Ridhanu saja menurut Asyifa.

"Kenapa Akang nggak nyalon ke BEM, sih? Aku tuh, rindu sama kepemimpinan Akang di intrakampus."

"Waduh, ada yang rindu meskipun sering bertemu."

Asyifa memukul lengan Bima hingga terdengar laki-laki itu terkekeh. Ia pun melanjutkan curahan hatinya.

"Aneh tau, Kang. Organisasi intrakampus ada peraturan dilarang cinta lokasi. Wajar kalau di organisasi dakwah. Iya, 'kan?"

Bima tergelak menertawakan adanya peraturan seperti itu di lembaga intra. "Iya, sih. Tapi bagus tuh, biar anggota bisa profesional kerjanya."

"Niatnya sih, baik. Tapi jatuhnya jadi aneh peraturannya. Otoriter presiden mahasiswanya, tuh."

"Ya, enggak juga, Neng. Ketua mah, bebas mau bikin peraturan apa."

"Tapi ya, enggak ngurusin masalah pribadi, Kang. Konyol, ah, peraturan kok dilarang cinlok. Udah kayak kehidupan perkantoran aja."

"Eh, tunggu dulu. Rasa-rasanya aku mencium keanehan. Neng sebel banget sama peraturannya apa yang buat aturan?" tanya Bima sambil menatap lekat Asyifa.

Asyifa tersenyum canggung. "Pokoknya aturan itu konyol."

"Oh ... aku tahu. Paling dia itu naksir kamu, Neng. Terus dia bikin peraturan itu biar nggak ketahuan perasaannya."

Asyifa terperanjat, tetapi ia tetap berusaha terlihat biasa saja. "Duh, Akang ini makin ngaco omongannya."

Pipi Asyifa bersemu merah. Segera ditutupnya dengan kerudung. Bisa makin parah Bima menggodanya. Beruntung, makanan yang sudah dipesan sudah datang. Asyifa bergegas menuju motor. Ia berharap rona pipinya segera kembali normal.

ROMANSA PERTAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang