"Nggak ada alasan ini aslinya," cetus Bima sembari kembali ke layar. Pertanyaannya tidak dijawab Asyifa.
Bima lalu terkikik pelan. Ia paham jika Asyifa sudah tidak mengeluarkan opini lagi, itu tandanya hanya gejolak emosi sesaat saja. Biasalah perempuan selalu pakai perasaan dalam segala aspek kehidupan.
"Apalagi masa PMS?" tanya Bima memastikan. Ia sudah kebal dengan perubahan hormone pada sahabatnya itu saat mendekati kedatangan tamu bulanan. Seringnya, ia menjadi korban pelampiasan emosi yang tak berdasar dari Asyifa.
"Baru juga bersih."
Asyifa bersungut-sungut. Ia memang tidak malu membahas masalah haid dengan Bima. Baginya itu buka hal tabu. Seorang laki-laki harus paham masalah tersebut karena dia akan memiliki istri dan anak perempuan di masa depan.
"Terus kenapa mau mundur, Neng?"
Asyifa terdiam kembali. Ia sedang memutar otak mencari alasan.
"Oke, oke. Aku tetap maju, tapi aku mengharapkan kekalahan. Aku nggak mau kampanye, Kang. Titik nggak pakai koma." Asyifa memukulkan telunjuk tangan kanan pada meja dengan cukup keras.
Bima mengerjap kaget, tidak menduga Asyifa akan berbicara seperti itu. Namun, ia tidak berkeinginan mendebat gadis itu. Bima pun manggut-manggut sambil tersenyum. Tanpa harus gencar berkampanye, pemuda yang berasal dari tanah Sunda itu sudah yakin jika Asyifa akan menang telak pada pemilihan nanti.
"Buat apa ada tim pemenangan. Udah, Neng leha-leha aja. Sana ngedrakor sepuasnya."
"Ish! Akang mah nggak asik!"
Jawaban santai Bima semakin membuat Asyifa keki. Ia pun segera beranjak dan meninggalkan Bima yang keheranan.
"Kau memang dari planet yang lain. Dikirim ke bumi untuk ... bikin aku pusing." Bima geleng-geleng kepala sembari bersenandung menyanyikan lagu yang sedang hits milik Sal Priadi. "Asyifa ... Asyifa."
***
Asyifa masih tidak terima jika Ridhanu mencalonkan diri ke BEM. Sekalipun dirinya maupun Ridhanu juga belum tentu menang. Namun, kemungkinan untuk dirinya kalah, sangat tipis. Tahun lalu, saat mencalonkan diri ke senat fakultas, ia bisa mengantongi 40% dari keseluruhan suara. Dan, nama Asyifa menduduki tempat tertinggi dari hasil akhir penghitungan.
Asyifa bukanlah gadis dengan penampilan fashionable dan wajah yang glowing di mana akan banyak orang yang mendekati. Ia hanya gadis berpenampilan sederhana. Kacamata dengan model oversized dan outfit andalan adalah kemeja lengan panjang, tunik, dan celana denim. Bisa dibilang jauh dari kata trendsetter untuk penampilan. Namun, ia mudah sekali menjalin pertemanan dengan adik tingkat. Hal itu yang membuat dirinya mendapat banyak dukungan saat pemilu raya.
Asyifa juga bukan orang dengan karakter ekstrovert. Ia malah cenderung tipe yang introvert jika berada di lingkungan yang baru ditemuinya. Namun, gadis itu bisa berubah menjadi pribadi yang menyenangkan dan rame jika bertemu dengan teman-teman terdekatnya.
Derap langkah kaki menaiki tangga di indekos, terdengar. Kamar Asyifa memang bersebelahan dengan akses yang menghubungkan lantai bawah dan atas.
"Mbak!" Hana membuka pintu dengan napas terengah.
"Apa? Ridhanu nggak jadi nyalon?" tebak Asyifa dengan mata terbuka lebar, mendadak berbinar. Ia bahkan berlari menyambut kedatangan Hana ke kamarnya.
Hana mengernyit heran. "Idih, bukanlah. Dia sih, maju terus pantang mundur. Ridhanu berhenti jadi aktivis? Impossible, Mbak."
Bibir Asyifa berubah manyun. Mimpi buruknya bakal terus berlanjut. Ia berjalan gontai ke arah kasur.
"Entar aja mikirin si kulkas itu. Sekarang temani aku ke basement Dome." Hana menyebutkan nama gedung berbentuk oval dengan atap bundar yang menjadi kebanggaan kampus Gemilang.
"Ngapain?"
"Loh, Mbak nggak dapat info?" Hana duduk dilantai dan meluruskan kakinya.
"Info apa?"
"Kajian Ustaz Hedi di kampus, Mbak. LDK yang ngundang. Aku punya dua tiket, nih." Hana menunjukkan dua lembar kertas.
"Ustaz Hedi yang biasanya di hotel itu?"
"Iya, Hedi Azmi. Favoritmu, tuh. Menggalau masalah jodoh."
"Mau!!"
Asyifa memekik keras sembari melonjak senang. Bisa-bisanya dirinya ketinggalan info kajian ustaz favorit di Instagram. Bisa dibilang Ustaz Hedi adalah ustaz selebgram yang dakwahnya menyasar anak muda yang sedang menanti jodoh atau bimbang tentang cinta sebelum menikah.
"Ayo cepetan ganti baju. Satu jam lagi dimulai," ajak Hana seraya menarik tangan Asyifa untuk bangkit dari posisinya.
Asyifa segera mengganti baju. Namun, ia tertegun saat melihat tumpukan baju di lemari yang hanya setinggi tubuhnya itu.
"Malah ngelamun. Buruan, Mbak."
"Aku bingung pakai apa. Aku nggak punya gamis, Han." Wajah Asyifa terlihat memelas.
Hana menghela napas pendek. Ia segera beranjak dari duduknya. Tangannya lalu meraih rok hitam milik Asyifa dan baju tunik polos berwarna cokelat muda.
"Udah ini aja. Udah kelihatan muslimah."
"Nggak papa pakai gini?"
"Emang siapa yang ngelarang?"
"Ya kan, tiap ada kajian Ustaz Hedi, jamaah cewekpada pakai gamis, Han. Gamis yang fashionable, tuh."
"Yang nggak boleh itu kalau nggak pakai jilbab. Muslimah kok kelihatan aurat. Ayo buruan, Mbak."
Asyifa manggut-manggut. Ia sepakat dengan pendapat Hana.
"Oke-oke." Asyifa mulai berganti pakaian ditemani Hana.
"Sekali-kali gitu beli gamis. Udah jamannya pakai gamis loh, Mbak."
"Enggak, ah. Aku kan bukan emak-emak."
"Tuh tadi bilang gamis fashionable. Udah keren-keren modelnya, Mbak. Aku aja udah beli dua."
"Mana?"
"Nanti dipakai pas lebaran," jawab Hana sembari tergelak.
"Dasar! Zona nyamanku itu kemeja sama celana jeans. You know, kan, Sist?"
Hana melirik ke atas. Alasan yang sangat dihapalnya ketika mencoba memengaruhi Asyifa untuk mengganti fashion sesuai dengan yang sedang happening sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
ROMANSA PERTAMA
RomansaHanya orang beruntung yang bisa saling mencintai lalu menikah. Asyifa merasa bahwa Ridhanu adalah jodohnya. Ia terlalu brutal jatuh cinta kepada aktivis kampus tersebut. Hanya dengan pandangan pertama, jatuh hatinya terlampau dalam pada sosok yang d...