Asyifa mengerjapkan mata mendengar permintaan Ridhanu. Ia hanya terdiam karena bingung harus bersikap seperti apa.
"Aduh, kok bisa sakit gini." Ridhanu terus merintih. Ia lalu menoleh ke arah Asyifa yang masih tertegun. "Syif."
Melihat wajah pemuda di hadapannya kesakitan, Asyifa tidak punya pilihan lain selain menuruti permintaan sang ketua. "Oh, iya iya. Bisa agak duduk nggak? Takut tumpah kalau rebahan."
Ridhanu pun sedikit menegakkan punggungnya. Asyifa menghela napas sebentar sebelum mendekatkan ujung gelas ke bibir laki-laki yang usianya satu tahun di atasnya itu. Tangannya masih gemetar. Ia tidak bisa menyembunyikan rasa gugupnya.
"Ada gempa ya, Syif?"
"Eh, nggak ada, Mas," jawab Asyifa sambil menautkan kedua alis. Keadaan di sekitar sepertinya aman saja.
"Kok, gelas ini goyang terus, ya?"
"Aduh."
Asyifa menggigit bibir. Ia tidak bisa menyembunyikan kegugupan itu. Pipi Asyifa memanas, ia langsung menundukkan wajahnya. Malu!
"Sini, sini."
Ridhanu terkekeh pelan sembari meraih gelas dari tangan sekretarisnya itu, kemudian diminumnya hingga tandas.
Asyifa meremas tangannya yang dingin. Ia merutuki diri kena bisa-bisanya membuat malu diri sendiri di hadapan laki-laki yang pernah berusaha ia curi hatinya.
"Terima kasih, tehnya manis," ucap Ridhanu sambil tersenyum.
Kedua pasang mata itu saling bersirobok. Hati Asyifa bergetar. Ia mengangguk sambil tersenyum canggung.
"Sama-sama."
Ridhanu kembali mengaduh. "Kok, masih sakit, ya?"
"Boleh aku periksa perutnya?" tanya Asyifa memberanikan diri. Ridhanu mengangguk sambil meringis.
Asyifa meletakkan telapak tangan kirinya di atas perut Ridhanu. Ia coba memastikan tangannya tidak gemetar lagi. Memang sudah sedikit santai. Asyifa kemudian memukul punggung tangan dengan telunjuk. Terdengar suara khas perut kembung.
"Ini sih, masuk angin, Mas."
"Kata dokter kalau nggak masuk angin, bisa mati, Syif."
Asyifa melirik Ridhanu dengan tatapan tajam. Bisa-bisanya kesakitan masih bisa bergurau.
"Kembung maksudnya. Nggak bisa buang angin, ya?"
Ridhanu mengangguk sambil menutup separuh wajahnya dengan sarung Bali. Laki-laki itu tersipu, ekspresinya membuat Asyifa terkikik.
"Tuh, kan, aku diketawain."
"Lucu, sih." Asyifa tertawa kecil. Ia mulai menyadari tentang komunikasi yang baik saat ini di antara dirinya dan Ridhanu. Hal yang tidak pernah terlintas dalam angan. Laki-laki es itu seolah sudah mencair.
"Diapain ya biar nggak sakit?"
"Mas nggak tahan sakit, ya?"
"Tahan, kok," jawab Ridhanu cepat. Ia tidak mau terlihat lemah di hadapan perempuan.
Asyifa tersenyum penuh arti. Wajah Ridhanu tidak bisa bohong jika tidak bisa menahan sakit.
"Bentar, aku buatin kompres panas dulu."
"Loh, aku nggak demam."
Asyifa berdecak lirih. "Tunggu aja bentar."
Asyifa mengambil botol kecil bekas air mineral dan mengisinya dengan air panas. Sebelumnya diisi dengan sedikit air dingin biar tidak meleleh.
KAMU SEDANG MEMBACA
ROMANSA PERTAMA
Любовные романыHanya orang beruntung yang bisa saling mencintai lalu menikah. Asyifa merasa bahwa Ridhanu adalah jodohnya. Ia terlalu brutal jatuh cinta kepada aktivis kampus tersebut. Hanya dengan pandangan pertama, jatuh hatinya terlampau dalam pada sosok yang d...