Asyifa memandang wajah adik kosnya itu. Hana mengerjapkan mata dengan menyunggingkan seutas senyuman. Helaan napas kasar keluar dari bibir Asyifa.
"Lagi males mikir aku ini, Han."
Asyifa mulai merajuk. Hana memang kerap berbuat iseng kepadanya. Namun, itulah yang membuat keduanya semakin dekat layaknya keluarga dekat.
"Biar Mbak Asyifa nggak stres-stres amat. Wajah ditekuk mulu. Senyum dong, menang pemilu raya. Mana ada cerita menang tapi sedih. Yang ada itu kalah baru stress."
"Beda cerita, Hana." Asyifa masih bersabar.
"Ya udah cepat tebak wajahku." Hana mendekatkan wajahnya. Matanya terlihat berbinar.
"Udah tahu."
Asyifa meletakkan telapak tangan kanan di wajah Hana. Ia lalu mendorongnya dengan lembut.
"Hore! Selamat bertemu ya kalian." Hana bertepuk tangan.
"Malu, beneran malu kalau sampai ketemu dia," ungkap Asyifa seraya berjalan dengan langkah berat ke arah kasur.
"Semangat, Mbak!" Hana memekik heboh. "Buktikan sama laki-laki es itu kalau Mbak Asyifa tuh, berharga. Kalau bisa, buat dia nyesel."
Asyifa termenung. Apa yang diucapkan Hana ada benarnya juga. Ia bisa membalaskan rasa sakit hati karena respon Ridhanu akan perasaannya. Asyifa mengepalkan tangan. Ia sudah bertekad akan bersikap lebih dingin pada laki-laki yang sudah menjerat hatinya itu. Sekalipun satu organisasi!
"Emang bisa bikin dia nyesel, Han? Siapalah aku ini?" Asyifa mulai minder. Pendekatannya yang lalu saja tidak bersambut baik.
"Bisa banget. Apalagi kalau nyeselnya seumur hidup." Hana menutup kalimat dengan gelak tawa.
"Kejam banget."
"Aku sih pinginnya kalian cinta lokasi." Hana berucap sembari mengedipkan mata.
"Apa, sih. Impossible," sahut Asyifa malu-malu. Tanpa Hana tahu, hati kecilnya mengaminkan ucapan itu.
***
Anggota BEM terpilih berkumpul untuk memilih ketua. Hal ini menjadi ajang bertemunya kembali Ridhanu dengan Asyifa dalam satu ruangan. Pemuda yang mengenakan kemeja motif garis itu sempat terkejut melihat Asyifa. Ridhanu memang tidak mencari tahu siapa saja anggota terpilih pada BEM periode ini.
"Selamat, Pak." Bima menjabat tangan Ridhanu. Sebagai ketua partai, ia bertugas menemani anggotanya untuk pemilihan ketua malam ini. Sebutan 'Pak' memang kerap dilontarkan sesama aktivis.
"Terima kasih, Pak. Tumben nggak nyalon lagi? Tau gitu kita kan, bisa bersaing." Ridhanu merangkul bahu Bima. Kedua mahasiswa tingkat akhir itu tertawa bersama.
"Wah wah kalau kita berkompetisi, yang milih bingung," kelakar Bima yang ditanggapi tawa oleh Ridhanu. "Oh, iya, bentar. Aku mau ngenalin kaderku."
Bima berjalan mendekati Asyifa yang duduk tidak jauh dari posisinya berdiri. "Neng, ikut bentar."
Asyifa enggan beranjak. "Ke mana?"
"Aku kenalin sama kandidat ketua dari koalisi kita."
"Siapa?"
"Ridhanu."
Asyifa sontak membulatkan matanya. Gadis dengan kacamata berbentuk kotak dengan frame warna merah itu langsung menggelengkan kepala. "Nggak perlu deh, Kang. Yang penting aku udah tau orangnya."
"Loh, udah kenal?"
Asyifa menggelengkan kepalanya dengan cepat. Jika bilang sudah kenal, Bima pasti akan mengorek lebih jauh.
"Ya udah, kenalan dulu. Bentar aja." Bima meraih pergelangan tangan Asyifa.
Gadis itu pun hanya bisa menurut. Ia lalu berjalan mengekor Bima dengan langkah malas.
"Kenalin ini Asyifa, kader terpilih dari Psikologi."
Bima mulai mengenalkan Asyifa. Gadis dengan kemeja lengan panjang berpadu celana denim itu hanya menunduk.
Ridhanu menanggapi dengan senyuman untuk perkenalan itu. Ia pun mengulurkan tangan terlebih dahulu. Namun, Asyifa malah melihat ke arah lain.
"Neng," panggil Bima.
Asyifa pun menerima uluran tangan Ridhanu dengan malas. Apalagi melihat senyuman pemuda itu. Ia yakin bahwa itu hanya kepalsuan.
"Pokoknya, partai kita harus menang untuk mendapatkan kursi ketua." Bima melanjutkan obrolan dengan Ridhanu. "Jangan lupa, Psikologi dapat jatah kursi sekretaris."
Asyifa membeliak kaget. Jika Ridhanu terpilih menjadi ketua, lalu dirinya menjadi sekretaris. Tentu saja akan melibatkan interaksi yang lebih sering. Mimpi buruk yang menjadi kenyataan!
"Kang," panggil Asyifa ke Bima. Gadis itu menarik bawah kemeja seniornya.
"Bentar, Pak. Apa, Neng?"
Ridhanu ikut memalingkan wajah ke arah Asyifa. Terlihat, gadis itu sedang berbisik di dekat Bima.
"Aku mau ke depan dulu."
"Oke."
Asyifa berlalu dari hadapan mereka. Ia tidak tahu jika Ridhanu terus menatap punggungnya yang semakin menjauh itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
ROMANSA PERTAMA
RomanceHanya orang beruntung yang bisa saling mencintai lalu menikah. Asyifa merasa bahwa Ridhanu adalah jodohnya. Ia terlalu brutal jatuh cinta kepada aktivis kampus tersebut. Hanya dengan pandangan pertama, jatuh hatinya terlampau dalam pada sosok yang d...