Dua Belas

43 7 0
                                    

Asyifa tidak menyangka mendapat tawaran dari Fadil. Sebuah niat baik yang sederhana. Zaman sekarang, mengantar cewek pasti yang disodorkan berbagai macam merk motor hingga mobil. Namun, yang dilakukan Fadil berbeda, sangat antimainstream.

"Terima kasih, Kak. Nggak perlu repot-repot. Kita kan, beda arah."

Asyifa menolak dengan halus. Teman barunya itu terlihat seperti sosok yang baik. Bisa dibilang, penampilan dan karakter Fadil mencerminkan sosok yang paham agama.

"Nggak papa. Aku udah biasa jalan-jalan." Fadil ingin memakai alasan lain agar diterima ajakannya. Namun, ia tidak ingin berbohong.

"Nggak, deh. Nanti aku ngerepotin." Asyifa kembali menegaskan. Ia sungkan jika harus membuat Fadil berjalan jauh.

Fadil masih terus menawarkan diri. Namun, Asyifa menolaknya. Sebenarnya ia ingin menerima tawaran itu, tetapi hal tersebut tentu bisa membebani Fadil yang harus berjalan lebih jauh, tengah malam pula. Sedangkan Ridhanu, ia hanya diam melihat obrolan rekan-rekannya. Padahal, indekosnya satu arah dengan Asyifa.

"Eh, kan ada Pak Pres itu bawa motor. Sob, barengin sekretarismu, tuh. Tega amat biarin anak gadis jalan kaki malam-malam sendirian." Gamal menunjuk Ridhanu yang sedang menyiapkan uang untuk membayar tagihan konsumsi rapat tadi.

Ridhanu tidak menanggapi ucapan Gamal. Ia malah beranjak dari tempatnya duduk, kemudian berlalu menuju kasir. Pembayaran masih menggunakan uang pribadi miliknya karena dana operasional dari kampus belum turun.

Asyifa memberanikan pulang ke indekos sendirian. Dari jauh, Fadil masih terus mengamati gadis yang sudah mencuri hatinya sejak pemilihan Ketua BEM bulan lalu. Gurat kekhawatiran terlihat di wajah bersih mahasiswa asal Makassar tersebut. Namun, kondisi yang tidak memungkinkan. Ia sebenarnya bisa saja meminjam motor Ridhanu untuk mengantar Asyifa. Akan tetapi, idealismenya terlalu kuat untuk tidak membonceng wanita yang bukan mahram.

Ridhanu kaget mendapati meja tempat rapat tadi kosong. Ia memang membenarkan ucapan Gamal dan berpikir bahwa Asyifa akan menunggunya. Namun, ternyata sikap diamnya diartikan berbeda oleh teman-temannya. Ridhanu mulai mengkhawatirkan Asyifa yang harus pulang sendiri dengan berjalan kaki.

"Nekat banget."

Ridhanu bergegas menuju parkiran. Matanya mengamati jalanan ke arah kampus. Namun, ia sudah tidak menemukan gadis berkerudung coklat itu di jalan. Motor beat merah itu pun segera dinyalakan. Ridhanu mulai melajukan kendaraan meninggalkan warung kopi.

Fadil yang berada di seberang warung kopi mengamati Ridhanu yang terlihat jelas gurat kecemasan di wajahnya. Hampir saja ketuanya itu tertabrak motor yang melaju kencang dari arah berlawanan karena pandangannya fokus ke arah kampus. Beruntung, laki-laki itu bisa menghindar dengan cepat.

Kurang lebih lima puluh meter dari warung kopi, tepat di bahu kanan jalan, Ridhanu memutar setang ke arah kanan. Ia lalu menarik rem.

"Ayo naik."

Asyifa terkejut, kemudian menghentikan langkahnya. Sosok pengendara yang sangat ia kenali, begitu juga dengan nomor polisi yang sudah terekam dengan sangat baik. Gadis itu bergeming, perasaan gugup kembali menyapa.

"Diam terus, ayo naik," titah Ridhanu dengan tatapan lurus ke arah depan.

Asyifa menganggukkan kepala sambil terus menunduk. Ia pun segera dududk di jok belakang Ridhanu. Rona merah tampak jelas di pipinya. Motor mulai melaju pelan menembus dinginnya malam. Namun, angina malam masih tetap membuat Asyifa gerah.

Fadil beranjak dari tempatnya berdiri. Ia bersyukur Asyifa sudah ada yang mengantar. Namun, hatinya tiba-tiba panas. Ada rasa cemburu menguasai relung hati. Mantan Ketua BEM Fakultas Agama Islam itu pun melangkah malas menuju tempat indekosnya.

***

Sepanjang perjalanan menuju indekos, tidak ada satu kata pun keluar dari bibir Asyifa dan Ridhanu. Mahasiswi tingkat tiga itu terlihat menjaga jarak di belakang Ridhanu. Kecanggungan yang tercipta seolah tertutupi oleh dinginnya angin malam.

Motor mulai memasuki gang dua kawasan Tirto. Ridhanu menghentikan kendaraannya tepat di depan rumah berpagar hijau.

Asyifa turun dari motor dengan alis bertaut. Ia heran pada pemuda yang mengantarnya pulang tersebut. Dirinya belum memberitahukan alamat indekos kepada Ridhanu.

Suara gembok dibuka terdengar dari dalam. Muncul sosok Hana dari balik pintu. Sebelum pulang dari warung kopi tadi, Asyifa sudah mengabarinya untuk membukakan pintu pagar. Ia lupa membawa kunci pagar. Hana berdiri sambil menyilangkan kedua tangan melihat Ridhanu yang tengah memutar motor.

"Wah, ada Mas Ridhanu."

"Hai, Han," sapa Ridhanu singkat.

" Nganterin Mbak Asyifa nih, Mas?" Hana mulai melancarkan aksinya. Jiwa mak comblang masih menggebu. Terutama tentang dua manusia di hadapannya ini.

"Aku balik dulu, ya." Ridhanu tidak menanggapi pertanyaan Hana yang disadarinya tengah menggodanya.

Asyifa berdecak kesal. Belum sempat ia mengucapkan terima kasih, laki-laki berjaket merah itu sudah melajukan motornya.

"Wow, wow! We o we. Wow!"

Hana bertepuk tangan. Rasa kantuk yang tadi menghinggapi saat menunggu kedatangan Asyifa sudah lenyap. Wajahnya terlihat sangat ceria.

Asyifa menatap heran adik kosnya. "Wow wow wow, gak jelas."

"Cie ... salah tingkah, ya?"

"Apa, sih, Han?" Asyifa tersipu. Wajahnya pun merona.

"Sumpah, aku kayak mimpi ini, Mbak. Nggak pernah bayangin Mbak Asyifa interaksi sama Mas Ridhanu. Aku nungguin kalian saling berbalas DM atau chatting di WA, susah banget nggak terwujud. Apalagi sampai dibonceng Mas Ridhanu. Nggak expect sama sekali. Malam-malam pula. Itu tadi apa?! Oh my god!" Hana menyentuhkan punggung tangan kanan ke dahi. "Apakah ini tanda kalian memang berjodoh?"

Asyifa mencubit lengan teman kosnya itu sambil tertawa kecil. "Dasar ratu lebay."

"Halah, tapi suka, 'kan? Kalau bohong, jadi gendut nanti."

Asyifa tergelak sambil mencubit gemas pipi Hana. Adik kosnya itu terdengar mengaduh sambil mengusap bekas cubitan tangannya.

"Cie, pipi masih merah, tuh. Tanda apa itu ya?"

Asyifa sontak memegang kedua pipinya. Panas!

"Masih besar rasanya, Mbak?" Hana terus saja nyerocos.

"Rasa apa, sih? Nggak jelas kamu ini malam-malam, Han."

"Rasa-rasa yang pernah ada. Ya, rasa cintamu untuk seniorku itu, Mbak. Ish, Mbak Asyifa, nih." Hana mulai kesal sendiri.

"Sudahlah, itu masa laluku, Han. Kamu dukung aku tutup buku tentang Ridhanu nggak, sih?"

"Mau dukung, tapi kalian satu BEM. Mak comblang bisa-bisa yang nggak bisa move on."

"Wes, tutup buku pokoknya. Bukunya kugembok. Kuncinya kubuang."

Hana tertawa puas sambil mengacungkan jari telunjuk dan tengah bersamaan. Dua mahasiswa berbeda angkatan itu pun masuk ke rumah.

"Aku tadi heran gimana dia bisa tau kosku, Han. Eh, dia kan, kakak tingkatmu, ya. Kok, aku lupa, sih." Asyifa kembali terbahak bersama Hana. Ia segera menuju kamar.

Malam ini, Asyifa tidak bisa tidur nyenyak. Ia berulang kali mengganti posisi tidur. Lampu pun sudah dipadamkan. Namun, ingatan saat Ridhanu menghadangnya dengan motor masih terpampang jelas. Bibir gadis berusia dua puluh satu tahun itu pun tidak lepas dari senyuman.

"Aarghhhh ... benci!"

ROMANSA PERTAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang