Dua Puluh Delapan

26 3 0
                                    


"Asyifa!"

Pekikan Faris membuyarkan lamunan Asyifa. Ia langsung berdiri begitu namanya dipanggil.

"Eh, ada yang jatuh kayaknya, Mbak." Hana ikut mengamati.

Asyifa masih menunggu kelnajutan dari teriakan Faris. Memang ada yang terkapar di rumput. Sososk itu tengah dikerumuni pemain lain.

"Syif! Tolong ambilkan kotak obat!"

Faris berteriak kembali dari tengah lapangan. Ia melambaikan tangan ke arah Asyifa.

"Buruan, Mbak," ujar Hana.

Asyifa segera meraik kotak obat yang sudah diamanahkan Faris untuk dijaganya. Ia pun berlari dengan cepat. Beruntung sepatu yang dipakai adalah sepatu sport.

"Ini, Kak." Asyifa menyerahkan kotak ke Faris. Ia penasaran dengan pemain yang butuh perawatan. Tentu bukan Ridhanu karena mereka baru saja bersitatap. "Siapa yang jatuh?"

"Fadil," jawab salah satu pemain yang berdiri di sebelah Asyifa.

"Loh, Kak Fadil kenapa?" tanya Asyifa seraya mendekat. Di tengah kerumunan, Fadil masih terus meringis dengan kedua tangan tidak lepas dari tulang kering kaki kanan.

Faris dengan cekatan memberi pereda nyeri ke pemain belakangnya tersebut. Tendangan lawan yang mengenai tulang kering Fadil ternyata cukup keras.

"Nggak bisa lanjut ini. Kita bawa ke keluar aja."

Asyifa ikut nyeri memperhatikan raut Fadil. Tentu sangat menyakitkan rasanya. Akhirnya, Fadil pun diangkat keluar dan posisinya digantikan anggota yang lain.

"Syif, jagain Fadil, ya," titah Faris sembari membantu Fadil duduk. "Kasih aja pereda nyeri kalau masih sakit banget."

"Oke, siap!"

Faris pun kembali ke lapangan. Sementara itu, Fadil menyandarkan tubuhnya di tribun penonton paling bawah. Ia masih merasakan tulang keringnya nyeri. Namun, berusha ditutupinya di hadapan Asyifa.

"Sudah mendingan, Kak?" tanya Asyifa memastikan.

"Alhamdulilla, Asyifa," jawab Fadil sambil tersenyum. Ia lalu menatap gadis di sebelah Asyifa. "Bentar, kayaknya kita pernah ketemu, ya?"

Hana menunjuk dirinya sendiri. "Aku, Kak?"

"Iya. Apa pernah satu acara?"

"Bukan, Kak Fadil pendamping Hana di pesantren mahasiswa."

"Oh, iya benar. Kalau nggak salah namanya Hanania?"

Hana mengangguk semringah. "Alhamdulillah, pendampingku masih ingat. Jadi terharu, deh."

Semua yang ada di situ terbahak mendengar ucapan Hana. Mereka pun mulai terlibat dalam perbincangan yang akrab.

"Jadi Hana ini adik kos Asyifa?" tanya Fadil yang mulai teralihkan rasa sakitnya.

"Betul, Kak. Kapan-kapan main ke kos kami, Kak."

Asyifa terkejut. Ia sontak menyenggol lengan Hana. "Aktivis dakwah, woi."

"Kan, Cuma bertamu. Nggak ngajakin pacaran. Iya, kan, Kak?"

Fadil tertawa ringan. "Iya, iya. InsyaAllah, Han."

Sifat Hana yang riang menambah keseruan obrolan tersebut. Gadis itu terus saja berbicara. Namun, ada sepasang mata yang terus menatap ke tribun.

"Aughh!!"

Bola mendarat dengan keras tepat di hidung mancung Ridhanu. Rasa ngilu pun menyebar hingga ke kepala. Tiba-tiba, darah seegar mengalir dari lubang hidung sebelah kiri. Ridhanu segera menutupnya dengan punggung tangan.

ROMANSA PERTAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang