Tujuh

45 8 0
                                    

"Maksudnya apa, Ridh?" tanya Faris. Ia semakin dibuat bingung dengan keputusan Ketua BEM terpilih itu.

"Ya gitu, nggak boleh lirik-lirikan. Saya tidak mau ada yang cinlok di sini. Ngerti, kan? Cinta lokasi. Jangan sampai kalian naksir sesama anggota." Ridhanu menghela napas panjang. Ia sebenarnya tidak tega mengemukakan hal seperti itu.

Derai tawa yang diikuti ekspresi setuju atas ucapan ketua BEM tersebut tampak dari seluruh anggota, kecuali Asyifa. Ia terlihat terkejut dan menatap Ridhanu dengan tatapan yang sulit diartikan. Hatinya sontak terasa nyeri.

Nggak sopan kamu, Mas! Dasar cowok kulkas!

Ridhanu tersenyum puas. Ia yakin peraturan itu akan berhasil. Sekejap ia melirik sekretaris barunya yang sedari tadi hanya diam dan menatap buku dan bolpoin di hadapan.

"Maaf, saya mau berpendapat."

Fadil, mahasiswa semester tujuh jurusan Tarbiyah, mengangkat tangannya. Ridhanu mempersilakan ketua departemen agama dalam kabinetnya itu untuk mengemukakan pendapat.

"Begini Pak Presma, saya mengapresiasi dengan baik peraturan dilarang pacaran tersebut. Namun, saya agak kurang setuju untuk yang dilarang cinta lokasi. Cinta lokasi belum tentu pacaran, loh. Mungkin hanya saling memberi dan menerima cinta. Atau bisa saja ada yang berkeinginan taaruf di sini. Mungkin saja, 'kan? Apakah anda tidak berpikir bahwa hal ini termasuk menghalangi hamba Allah dalam bertemu jodohnya?" tanya Fadil yang langsung disambut riuh tepukan tangan dari rekan-rekannya.

Ridhanu memperbaiki posisi duduknya. Punggung kembali ditegakkan. Tangannya memainkan bolpoin yang dipukulkan ke meja, berharap semua kembali tenang.

"Tentu tidak. Saya tidak bermaksud menghambat jodoh seseorang. Hanya saja, saya ingin semua profesional dalam bekerja. Akan sangat riskan jika ada masalah hati dalam satu rumah. Bisa-bisa masalah bukan milik pasangan itu saja, tapi berimbas pada anggota lain yang tidak ada sangkut pautnya. Bagitu maksud saya, Pak."

"Bagaimana jika pasangan itu bisa menjamin bahwa mereka akan bersikap profesional?" Fadil masih berusaha mempertahankan pendapatnya.

Ridhanu menggeleng. "Saya tetap memberlakukan larangan cinta lokasi. Silakan saja kalau mau pacaran tapi jangan dengan sesame anggota BEM. Nanti, setelah masa jabatan berakhir, semua bisa bebas memberi dan menerima cinta. Seperti yang anda maksud tadi. Tahan dululah satu tahun. Oke?"

Fadil menghela napas kasar. Akankah hatinya dipaksa membeku kembali? Ia bersyukur bisa bertemu seorang gadis yang bisa mencairkan hatinya. Di sini, di rumah bernama Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas.

"Eh, Pak Ustaz. Anda naksir cewek di sini, ya?" tebak Nida menyelidik. Ia memang memanggil Fadil dengan sebutan tersebut karena fakultas laki-laki itu agama Islam.

Fadil tampak terlihat salah tingkah. Ia hanya tersenyum saja menanggapi.

"Aku penasaran, nih. Siapa, sih, idamannya Fadil?" Nida malah terpancing pernyataan Fadil.

"Kamu paling, Nid. Dasar kepo," celetuk Ridhanu yang duduk di samping Nida.

"Enak aja. Gamal mau aku kemanain? Lagian tipe Pak Ustaz pasti yang soleha gitu, pakai rok tiap hari, kerudung lebar menutup dada. Tapi di sini semua ceweknya pakai celana denim," ujar Nida sambil mengamati Asyifa, Tia, dan Linda.

Ruang kantor kembali riuh.

"Wah, wah, bisa-bisa ada yang diajak taaruf di sini," ujar Faris ikut memeriahkan suasana.

"Bukan, bukan seperti itu."

Fadil berusaha menenangkan teman-temannya. Hanya Ridhanu dan Asyifa yang terlihat diam. Mereka fokus dengan pikiran di kepala masing-masing.

"Oke, sepertinya sudah tidak ada yang perlu dibahas." Ridhanu akhirnya bersuara kembali. Jarum pendek sudah menuju angka sepuluh. Ridhanu pun menutup rapat perdana itu.

"Maaf sebelumnya, Pak Pres. Anda pun harus waspada, jangan sampai cinlok. Ada gadis-gadis di sini yang masih jomblo. Waspadalah," sela Faris diiringi gelak tawa dari teman-teman.

"Saya yang membuat peraturan, jangan khawatir," ucap Ridhanu dengan percaya diri. "Baiklah, terima kasih atas kehadiran teman-teman. Wassalammualaikum warrahmatullahi wa barakatuh. Oh, iya. Sekretaris tolong notulensinya dikumpulkan ke sini."

Anggota yang hadir mulai beranjak meninggalkan ruang BEM. Ridhanu pun sibuk membereskan buku ke dalam tas punggung hitam kesayangannya.

"Ini notulensinya."

Ridhanu mendongakkan kepala. Mahasiswi jurusan Psikologi itu sudah berdiri di sampingnya.

"Oh, iya. Terima kasih."

Asyifa menganggukkan kepala dengan wajah tanpa senyuman, dingin. Gadis dengan kemeja polos berwarna marun itu pun berlalu meninggalkan ruangan.

Ridhanu memperhatikan kertas yang diserahkan Asyifa. Tulisannya rapi. Tidak salah jika partai pengusungnya meminta supaya gadis itu ditempatkan di bagian sekretaris BEM. Jika saja partai itu tidak memberikan suara untuk dirinya, tentu saja mahasiswi semester lima tersebut tidak akan ditempatkan di pengurus inti.

Ridhanu sontak tergelak saat mendapati tulisan dengan huruf kapital yang disertai tanda seru.

DILARANG CINLOK!!!

ROMANSA PERTAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang