"Apa-apa an ada karma di peraturan BEM." Ridhanu tidak habis pikir dengan ucapan teman sekelasnya itu.
"Jalan hidup manusia satu detik kedepan itu nggak ada yang tahu selain Allah. Lucu juga kalau kamu nanti bisa cinlok sama anggotamu. Hati-hati ajalah," nasihat Gamal dengan mimik jahil. Ia lalu menepuk punggung sang sahabat dengan pelan. "Kalau kejadian, aku yang bakal ketawa paling keras."
Ridhanu tertawa sinis. Bayangan empat mahasiswi yang satu organisasi dengannya mulai berkelebat. Ia lalu menarik sudut bibir sebelah kiri. "They are not my cup of tea."
"Apa, tuh? Cup teh?"
"Ck, kebanyakan pacaran. Mereka bukan kriteriaku. Itu artinya." Ridhanu kembali mengambil satu buah pisang dan melahapnya.
"Dasar belagu!" Gamal menoyor kepala Ridhanu. Dua sahabat baik itu pun tergelak bersama.
"Jadi ktriteriamu masih tetap si Jihan?"
Ridhanu menghentikan suapan begitu mendengar nama yang disebut Gamal. Jihan adalah pacar pertama dan terakhir untuk saat ini, tepatnya mantan pacar. Ridhanu memang tidak pacaran karena titah dari kedua orang tuanya. Dirinya bukan dari keluarga religius, tetapi pacaran sangat dilarang untuk Ridhanu. Anehnya, adik Ridhanu yang perempuan dan masih duduk di bangku SMA diperbolehkan. Dasar itu yang membuatnya nekat pacaran tapi berakhir kandas.
"Nggak tahu, fokusku organisasi."
"Menyela saudaraku!" Gamal bertepuk tangan.
***
Lampu-lampu di jalan raya sudah benderang. Arus lalu lintas terpantau ramai lancar. Masjid kampus yang terletak di pinggir jalan raya baru saja usai melangsungkan salat Isya berjamaah.
Ridhanu keluar dari masjid menuju tempat parkir. Malam ini, tepatnya jam 19.30 WIB, BEM akan mengadakan rapat persiapan raker di salah satu warung kopi dekat gapura perbatasan kota dan kabupaten. Kampus mereka memang terletak di ujung barat Kota Malang.
Presiden mahasiswa itu segera memacu motor kesayangannya menuju lokasi yang berjarak kurang lebih 300 meter dari kampus. Baru keluar dari gerbang, mata Ridhanu menangkap sosok gadis dengan tas punggung yang tidak asing lagi baginya. Ia pun mempercepat laju motor, melewati Asyifa yang tengah berjalan seorang diri.
Tidak sampai lima menit, Ridhanu sudah sampai di warung kopi. Tempat itu masih terlihat sepi. Mahasiswa biasanya mulai datang untuk ngopi dan bercengkerama sekitar pukul sembilan malam. Ridhanu mengedarkan pandang mencari teman-temannya. Belum ada satu pun yang datang. Jam karet sepertinya menjadi favorit rakyat Indonesia daripada jam dinding, jam tangan, jam di ponsel.
Ridhanu mencari meja yang berada di dekat pintu masuk. Ia lalu mengeluarkan buku notulensi milik sekretaris dari tasnya. Senyuman tersungging di bibir. Kalimat dilarang cinlok yang ditulis Asyifa masih membuatnya geli sendiri. Ridhanu memegang dagunya sambil memainkan rambut tipis yang tumbuh.
Kasihan juga dia jalan kaki ke sini. Ridhanu mengangkat bahu lalu berdecak lirih. I don't care.
"Assalammualaikum."
Ridhanu menoleh ke arah suara. Ia terperanjat melihat pemilik suara. "Wa-waalaikumsalam."
Asyifa meletakkan tas di bangku lesehan yang terbuat dari kayu. Ia menyandarkan punggungnya di dinding yang terbuat dari bambu. Kemudian, tangannya sibuk menyeka keringat yang membasahi dahi dengan tisu yang baru diambil dari saku celana denim. Ia mencoba untuk bersikap cuek di depan Ridhanu. Padahal, jantungnya berdegup cepat bukan karena berjalan jauh. Kecanggungan sangat terasa di antara mereka berdua.
Ridhanu menatap Asyifa yang duduk di seberangnya dengan iba. Ia sedikit menyesali sikap tidak acuhnya saat melihat gadis itu berjalan kaki tadi.
Tatapan Asyifa memang ke ponsel, tetapi ia tahu jika Ridhanu sedang mengamatinya. Ingin rasanya membalas tatapan itu. Namun, nyalinya terlalu ciut. Ia pun mengalihkan pikiran dengan membuka tasnya.
"Loh, kok nggak ada bukunya?"
Asyifa bingung karena tidak menemukan benda yang dicari. Ia sampai menggigit bibir bawah. Dirinya enggan terlihat tidak profesional di mata Ridhanu karena lupa membawa buku penting tersebut.
"Ini yang dicari?" Ridhanu menyerahkan buku yang tengah dicari Asyifa.
"He ... iya, makasih." Asyifa memperlihatkan giginya yang berderet rapi seraya meraih buku bersampul kuning dari tangan Ridhanu.
"Belum tua udah lupa," ucap Ridhanu lirih.
"Hah? Apa?"
Asyifa menyipitkan mata saat mendengar suara lirih keluar dari pemuda di hadapannya itu. Ia pun mendengkus kesal karena tidak ada sepatah kata terucap kembali dari bibir Ridhanu. Sesaat kemudian, Asyifa berlalu menuju meja kasir.
Asyifa kembali ke meja. Botol air mineral dingin sudah berada dalam genggamannya. Ia segera meneguknya hingga tersisa setengah botol. Asyifa kemudian mengembuskan napas penuh kelegaan. Rasa lelah dan gugup bercampur jadi satu. Pertemuan kali ini adalah kesempatan terlama mereka duduk berdua meskipun tanpa obrolan.
Tidak berselang lama, anggota BEM yang lainnya telah sampai di warung kopi. Tepat pukul delapan malam, Ridhanu memulai koordinasi. Mereka mulai membahas tentang konsep acara pada rapat kerja nanti. Koordinasi yang dilakukan berlangsung santai. Para pejabat mahasiswa itu sesekali bertukar opini sambil menikmati minuman dan camlian yang sudah dipesan.
Tanpa terasa, tiga jam pun berlalu. Hasil rapat memutuskan bahwa raker akan diadakan tujuh hari lagi. Lebih cepat dari rencana. Tempat yang dipilih adalah salah satu vila yang berada di Kota Batu, tepatnya di daerah Songgoriti—ujung Kota Wisata. Vila itu memang sering menjadi langganan aktivis kampus untuk mengadakan acara yang berdurasi lebih dari satu hari.
"Syif, kamu yakin konsumsi masak sendiri?" Nida memastikan usulan Asyifa yang ditunjuk sebagai seksi konsumsi dalam raker.
"Cuma makan malam dan sarapan saja, kan? Makan siang sudah bawa nasi bungkus dari sini."
"Tidak masalah masak sendiri. Bisa menghemat pengeluaran. Apalagi dana yang didapat tidak sesuai rencana anggaran." Fadil menambahi.
"Kalau memang penanggung jawab siap, ya silakan saja." Ridhanu ikut memberi saran.
"Okelah. Aku nggak bisa masak loh, Syif." Nida berbisik di telinga Asyifa.
"Nanti aku ajarin," balas Asyifa ikut berbisik. Ia lega bisa mengutarakan pendapatnya dan disetujui. Awalnya, usulannya tidak ditanggapi positif oleh rekan-rekannya. Namun, Fadil bisa ikut memberi pendapat yang mendukungnya. Ada sedikit niatan mengusulkan itu. Tentu saja semua ditujukan kepada satu nama, Ridhanu.
Rapat pembahasan raker pun diakhiri. Warung kopi semakin ramai mendekati tengah malam. Satu per satu yang hadir mulai undur diri. Masih tersisa Asyifa, Ridhanu, Nida, dan Fadil.
Asyifa sibuk dengan telepon genggamnya. Bima yang sedari tadi dihubungi tidak kunjung membalas WA-nya. Bahkan, telepon pun tidak diangkat. Gadis itu mulai terlihat cemas. Biasanya, setiap pulang malam karena urusan organisasi, Bima selalu setia mengantar adik tingkat yang dikenalnya saat masa orientasi mahasiswa baru dulu.
"Syif, Gamal udah jemput. Kamu mau bareng aku?" tanya Nida yang mengerti kegalauan temannya itu.
"Nggak usah, Nid. Aku jalan kaki aja," ucap Asyifa seraya tersenyum manis. Ia sebenarnya tidak yakin dengan apa yang keluar dari mulutnya. Jarak warung kopi dan indekos bisa dibilang dua kali lipat jarak kampus ke rumah sewa itu. Apalagi arah ke tempat tujuannya melewati tanah kosong. Hal itu seolah menambah kegelisahan Asyifa.
"Asyifa mau aku antar?" Fadil menawarkan bantuan. "Tapi, jalan kaki soalnya nggak ada motor."
KAMU SEDANG MEMBACA
ROMANSA PERTAMA
RomanceHanya orang beruntung yang bisa saling mencintai lalu menikah. Asyifa merasa bahwa Ridhanu adalah jodohnya. Ia terlalu brutal jatuh cinta kepada aktivis kampus tersebut. Hanya dengan pandangan pertama, jatuh hatinya terlampau dalam pada sosok yang d...